Tugas kelompok
Mata Kuliah : Birokrasi
Dosen : DR .H . AZIKIN SULTAN
REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA TENTANG
LINGKUNGAN SOSIAL POLITIK LOKAL DAN DETERMINAN KINERJA PELAYANAN PUBLIK
ANSARUDDIN
11A05011
ROSLELY NATSIR 11A05012
H.M.SAID SAGGAF
11A05013
RAMSIAH TASRUDDIN
11A05014
HAMDAN 11A05015
PROGRAM DOKTOR
ADMINISTRASI PUBLIK (S3) UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR TAHUN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum
dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh pemerintah. Tidak tersedianya
informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan
ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai
agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi
pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar
penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk
menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan
indikator-indikator kinerja yang sebenarnya. Akibatnya, para pejabat birokrasi
tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi
cenderung menjadi amat rendah.
Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan
kinerjà birokasinya. misalnya, dalam rnenentukan anggaran birokrasinya,
pemerintah sama sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi.
Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah birokrasi publik
lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh
birokrasi itu pada masyarakatnya. Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil
dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik.
Karena anggaran sering menjadi driving
force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran
yang diterima oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa
menjadi salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik.
Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi
terdorong untuk menunjukkan kinerja yang balik. Kalau ini dapat dilakukan, data
dan informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia sehingga
penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih mudah dilakukan.
Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja
birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk
mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator
kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi
sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit,
pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah dintegrasikan.
Kepentingan utarna pemilik perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan
kepentingan utama konsumen biasanya adalah kualitas produk dan harga yang
terjangkau. Stakeholders dan
birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai,
wartawan, dan para pengusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha
mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian
kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan
sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.
Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti
efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator
yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas,
dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat
penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis
sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam
pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan
sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap
memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan
oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya
terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi
birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat
multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi publik memiliki stakeholders yang banyak dan memiliki
kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi
publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran
kinerja organisasi publik di mata para stakeholders
juga berbeda-beda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan
untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai
berikut.
Jadi kehidupan birokrasi sangat berkaitan dengan
bagaimana lingkungan sosial, dan politik suatu lingkungan serta bagaimana
pelayanan publik yang dilakukan oleh suatu birokrasi. Hal inilah yang akan
dibahas pada makalah ini.
B. Rumusan masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya antara
lain:
a. Bagaimanakah
kondisi dalam suatu lingkungan mengenai politik lokal, dan lingkungan sosial
ekonomi masyarakat serta kontrol masyarakat?
b. Bagaimanakah
kinerja pelayanan publik dalam kewenangan diskresi dan orientasinya terhadap
perubahan?
c. Bagaimanakah kinerja
pelayanan publik pada budaya paternalisme, etika pelayanan, sistem intensif,
dan semangat kerjasama?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui
kondisi dalam suatu lingkungan mengenai politik lokal, dan lingkungan sosial
ekonomi masyarakat serta kontrol masyarakat
b. Untuk mengetahui kinerja
pelayanan publik dalam kewenangan diskresi dan orientasinya terhadap perubahan
c. Untuk mengetahui kinerja
pelayanan publik pada budaya paternalisme, etika pelayanan, sistem intensif,
dan semangat kerjasama
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Birokrasi adalah alat kekuasaan bagi yang
menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam
kontinuitasnya. Ditinjau dari sudut etimologi, maka perkataan birokrasi berasal
dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi
birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja.
Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan
yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas
pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Secara
teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan
politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang
potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat
politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan
aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh
perangkat kendali dari luar dan dari dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan
dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan birokrasi perilaku.Dalam
pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah atau para
birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam
sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang
dipimpinnya. Birokrasi dalam hal ini mempunyai tiga arti, yaitu :
1. Sebagai tipe organisasi
yang khas;
2. Sebagai suatu sistem;
3. Sebagai suatu tatanan jiwa
tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya.
Birokrasi juga dimaksudkan untuk mengorganisir
secara teratur suatu pekerjaan yang dilakukan banyak orang, birokrasi adalah
tipe dari suatu organisasi untuk mencapai tugas-tugas administrasi besar dengan
cara mengkoordinasi secara sistematis atau teratur pekerjaan dari banyak orang.
Birokrasi sebagai suatu sistem kerja dimaksudkan sebagai sistem kerja yang
berdasarkan atas tata hubungan kerja sama antara jabatan-jabatan secara langsung
mengenai persoalan yang formil menurut prosedur yang berlaku dan tidak adanya
rasa sentimen tanpa emosi atau pilih kasih, tanpa pamrih dan prasangka. Apa
yang ingin ditonjolkan disini adalah suatu tata hubungan antara
jabatan-jabatan, pejabat-pejabat, unit instansi dan departemen pemerintahan.
Dalam tata hubungan ini, bagaimana suatu penyampaian gagasan, rencana,
perintah, nilai-nilai, perasaan dan tujuan dapat diterima dengan baik oleh
pihak lain sebagai penerima dengan cara penyampaiannya harus mudah dan tepat
serta berdasarkan hukum. Birokrat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
harus dilandasi persepsi dan kesadaran hukum yang tinggi,
adapun ciri-ciri birokrasi, yaitu :
1.
Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi
dengan sepenuhnya;
2.
Adanya peraturan yang benar-benar ditaati;
3.
Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian
menurut kemampuan masing-masing (sense
of belonging);
4.
Para pejabat terikat oleh disiplin;
5.
Para pejabat diangkat berdasarkan syarat-syarat
teknis berdasarkan peraturan (meryt system);
6.
Adanya pemisahan yang tegas antara urusan dinas
dan urusan pribadi.
Dalam melaksanakan birokrasi negara, setiap
pejabat dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan dua asas, yaitu:
1. Asas Legalitas
Asas ini berarti tidak ada satu pun perbuatan
atau keputusan dari pejabat atau para birokrat yang bersangkutan, boleh
dilakukan tanpa dasar suatu ketentuan undang-undang, untuk itu para pejabat
atau para birokrat harus memperhatikan delapan unsur legalitas, yaitu peraturan
tertulis, penyebaran atau penggunaan peraturan, tidak berlaku surut, peraturan
bisa dimengerti, tidak bertentangan satu sama lain, tidak menuntut diluar
kemampuan orang, tidak sering berubah-ubah dan sesuai antara peraturan dan
pelaksanaannya.
2. Asas Freies Ermessen atau Diskresi
Artinya pejabat atau para birokrat tidak boleh
menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturan, oleh karena itu
diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri
asalkan tidak melanggar asas legalitas.
Dalam setiap hal yang dikerjakan oleh aparatur
administrasi negara, dapat dilihat apa yang menjadi hak, kewajiban, tanggung
jawab serta peranan aparatur administrasi negara. Adapun hak dan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh seorang aparatur administrasi negara (birokrat) adalah
:
1.
Wajib atau taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2.
Wajib membuat suatu kebijaksanaan terhadap
suatu hal walaupun tidak ada peraturan yang mengaturnya, hal ini sesuai dengan freies ermessen;
3.
Harus sesuai dengan susunan pembagian tugas;
4.
Wajib melaksanakan prinsip-prinsip organisasi;
5.
Wajib melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (AAUPB).
Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan
berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan
pada politik dan kekuasaan. Masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa
birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah, padahal keduanya
berbeda dan tidak dapat disamakan. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu
memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri,
oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian
rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan
bukan sebagai abdi kekuasaan. Administrasi
negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan
tugas-tugas negara, diantaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini
mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya
aparat negara bukanlah selalu aparat pemerintah. Birokrasi juga memegang
peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai kebijakan
publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Birokrasi pada pemerintahan sebagai
penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak
efisien dan efektif. Untuk mendorong terbentuknya suatu pemerintahan yang
bersih dan berwibawa maka segenap aparatur pemerintah (birokrat) wajib
melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kekuatan birokrasi Indonesia sebenarnya bisa
menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk
memajukan kesejahteraan rakyat.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Kondisi dalam suatu lingkungan mengenai
politik lokal dan lingkungan sosial ekonomi masyarakat serta kontrol masyarakat.
Kultur politik
birokrasi
Politik lokal
merupakan salah satu determinan makro penting untuk menjelaskan kinerja dan
karakteristik birokrasi di suatu daerah. Hal tersebut merupakan suatu
konsekuensi adanya pengaruh budaya masyarakat yang melingkupi organisasi
birokrasi pemerintah. Birokrasi dalam mengembangkan system organisasi tidak semata-mata
didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat,
melainkan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal seperti, budaya
masyarakat, kondisi politik, karakter sosial masyarakat, kondisi ekonomi
masyarakat, LSM, pers, dan perguruan tinggi.
Dimisalkan dari
ketiga daerah penelitian masing-masing mempunyai akar sejarah, pengalaman
politik, dan latar belakang sosio-kultural yang unik berkaitan dengan politik
lokal. Sumatera barat, misalnya merupakan daerah dengan pengalaman politik
lokal yang menarik. Konsep nagari telah lama dikembangkan sebagai model good
governance pada tingkat lokal. Sistem nagari dibentuk dengan memperhatikan
dasar-dasar sosiologis, antroplogis, sosio-kultural, dan budaya politik
masyarakat Minangkabau yang mempunyai corak egalitarian. Konsensus merupakan
mekanisme pengambilan keputusan politik bersama yang dijadikan landasan praktik
kehidupan sosial politik dalam sistem politik dalam sistem nagari yang
dikembangkan.
Ideologi politik Minangkabau sangat mendambakan
kehadiran tatanan kemasyarakatan yang demokratis dan egaliter untuk memelihara
harmoni sosial. Sistem nilai dan kepercayaan tersebut hampir menyerupai sistem nilai
kepercayaan yang terdapat pada budaya politik Jawa. Perbedaan keduanya terletak
pada kemaknaan konsep tatanan masyarakat yang diaktualisasikan dalam budaya
politik di masing-masing tempat. Pada masyarakat minangkabau, makna tatanan
masyarakat diartikan sebagai bentuk komunitas politik yang menuntut adanya
control efektif secara hokum dan sosial atas individu-individu. Pelibatan
keseluruhan aktor, mulai dari tingkat paruik (sublineage), kam ( lineage ),
suku ( clan ), hingga nagari, dalam proses pengambilan keputusan bersama,
mengindikasi telah diakuinya prinsip partisipasi dalam komunitas politik
Minangkabau.
Demikian pula
imbas kultur politik tersebut kepada masyarakat dalam bentuk ketakutan untuk
mengkritisi kebijakan-kebijakan gubernur, yang masih merupakan keturunan
langsung dari sultan, atapun kebijakan
birokrasi pada umumnya.
Daerah istimewa
Yogyakarta mempunyai pengalaman yang unik berkaitan dengan perkembangan system
pemerintahan. Mulai model pemerintahan yang bercorak feudal-tradisional sampai
dengan system pemerintahan model demokrasi barat pernah diberlakukan.
Perkembangan tipe pemerintahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat seiring
dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial di daerah istimewa Yogyakarta,
yang telah berlangsung semenjak masa penjajahan, menjelang revolusi
kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Pengalaman politik tersebut menjadikan
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sangat sensitive terhadap isu-isu
perubahan sosial dan politik yang tengah terjadi. Tidak mengherankan apabila
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta senantiasa memainkan peran penting dalam
konstelasi secara nasional, seperti pada peristiwa reformasi pilitik nasional
tahun 1998 lalu.
Spektrum
kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, baik secara historis,
sosio-kultural, maupun politik tidak dapat dilepaskan dari keberadaaan figur
sultan, baik secara institusional maupun personal.
Sultan dan
intuisi keraton bagi sebagian besar masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta masih
diyakini sebagai salah satu factor utama perubahan sosial. Sultan masih memainkan
peran yang begitu besar dalam memelihara stabilitas dan harmoni sosial di
masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu factor bagi terciptanya
stabilitas dan harmoni sosial dimasyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu
factor bagi terciptanya stabilitas sosial masyarakat sehingga kekacauan dan
kerusuhan sosial besar reltif jarang sekali terjadi.
Berbeda halnya
dengan masyarakat Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yang relative tidak
memiliki figur otoritas tradisional untuk meredam konflik sosial di masyarakat.
Namun, masyarakat di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat lebih berani secara
terbuka mengkritisi kebijakan gubernur dan birokrasi dibandingkan dengan
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setting historis
politik dan kultural di Sulawesi selatan tidak mempunyai figur pemersatu
seperti halnya figur sultan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Birokrasi pada
awal terbentuknya banyak yang berasal dari kelompok elite di masyarakat,
seperti keluarga raja dan kelompok bangsawan. Birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta
misalnya, pada awalnya banyak diisi oleh golongan priayi atau abdi dalem
keraton. Golongan ini merupakan golongan semibangsawan menengah ke bawah. Tugas
golongan priayi adalah menjalankan semua perintah-perintah sultan. Disamping
itu, mereka juga mempunyai hak-hak khusus yang mmpu mendongkrak prestise sosial
mereka yang tinggi di masyarakat, seperti berhak mempergunakan gelar
kebangsawanan dan mempunyai akses besar terhadap pendidikan atau
kegiatan-kegiatan sosial lainnya di dalam masyarakat pada waktu itu.
Pada sejarahnya,
kedudukan masyarakat kebanyakan secara sosial politik berada dalam kelas orang
biasa (wong cilik), yang biasanya terdiri dari kaum tani, pedagang, dan
karyawan swasta. Warga masyarakat biasa dianggap tidak memiliki hak istimewa. Kelas
ini lebih banyak dibebani dengan berbagai kewajiban, seperti membayar pajak.
Perspektif aparat birokrasi yang merasa mendapat kehormatan dari sultan
cenderung menganggap dirinya sebagai kelompok yang terhormat dibandingkan
dengan warga masyarakat kebanyakan lainnya. Perspektif yang berkembnag
dikalangan birokrasi tersebut membawa pengaruh pada lemahnya rasa penghormatan
dan pertanggungjawaban birokrasi kepada publik.
Budaya politik
tersebut secara luas membawa implikasi pada tunbuh suburnya budaya marginal
dikalangan masyarakat ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Masyarakat
kebanyakan merasa sebagai kelompok yang kalah terhormat dibandingkan dengan
birokrasi. Masyarakat merasa tidak memiliki posisi tawar tawar yang berimbang dengan
birokrasi sehingga menjadikan masyarakat kehilangan daya kritisnya terhadap
kinerja birokrasi pemerintah. Perspektif tentang birokrasi tersebut sampai
sekarang masih mempengaruhi pola hubungan birokrasi dengan masyarakat di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Namun, fenomena
menarik dalam konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat terlihat di Sumatera
Barat. Masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat ketika berhadapan dengan
pejabat birokrasi, secara sosial-psikologis berada pada posisi yang berimbang.
Masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat mempunyai kiat psikologis untuk
melawan dominasi birokrasi atas masyarakat. Masyarakat pengguna jasa di
Sumatera Barat ketika memberikan uang suap kepada pejabat birokrasi tidak
pernah menganggapnya sebagai beban, melainkan sebagai bukti pihak yang lebih
terhormat kedudukannya dibandingkan dengan pejabat birokrasi. Masyarakat
Sumatera Barat sangat memandang tinggi nilai dan konsep pemberian dalam relasi
sosial yang terbangun diantara mereka, termasuk dalam konteks hubungan
birokrasi dan masyarakat dalam pemberian pelayanan publik.
Lemahnya kekuatan
kontrol masyarakat terhadap birokrasi erat kaitannya dengan permasalahan kultur
politik masyarakat. Suatu budaya politik yang masih berakar di kalangan
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, ialah masih adanya kepercayaan
politik yang melarang mengkritik sultan secara terbuka.
Imbas kultur dan
norma politik tersebut sampai saat ini masih tetap dirasakan di lingkungan
birokrasi ataupun masyarakat pada umumnya. Kritik secara terbuka dan frontal
terhadap kebijakan sultan, yang merupakan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,
sangat jarang terlihat. Kalangan anggota DPRD , tokoh partai politik, kalangan
LSM, dan tokoh masyarakat terlihat masih enggan untuk mengkritik sultan secara
langsung.
Feodalisme
birokrasi masih terlihat pula pada perilaku birokrat dalam memberikan pelayan
publik di Sulawesi Selatan. Manifestasi dari hal tersebut tercermin dari masih
tetap dipeliharanya nilai-nilai tradisional yang membuat pejabat birokrasi
merasa memiliki status sosial tinggi di masyarakat. Panggilan bagi pejabat
birokrasi dengan sebutan Karaeng atau Puang memperlihatkan adanya sekat
kultural-psikologis dalam budaya birokrasi sehinggan atasan dan bawahan ataupun
masyarakat tidak dapat berlangsung secara efektif. Banyak aparat birokrasi yang
cenderung lebih memilih bersikap diam untuk mengamankan jabatannya apabila
berbeda pendapat dengan pejabat atasan.
Dinamika politik
Salah satu
subtansi penting dari isu dinamika politik lokal adalah melihat pola interaksi
dan wacana politik yang berkembang pada tingkat lokal. Pola interaksi politik
antara legislatif dengan eksekutif dan peran dari stakeholders kebijakan pada
tingkat lokal dalam merumuskan kebijakan pemberian pelayanan publik merupakan
isu yang cukup krusial dalam mengukur akuntabilitas kinerja birokrasi di suatu
daerah.
Dampak
perkembangan politik lokal terhadap kehidupan bermasyarakat adalah dalam
kaitannya dengan peningkatan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan
politik. Dinamika politik lokal merupakan gambaran seberapa jauh proses politik
yang berlangsung pada tingkat lokal mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan
akuntabilitas. Politik lokal dan dinamika di dalamnya terdapat tidak hanya
memberikan gambaran dari suatu fenomena
politik, melainkan melihat pula peran birokrasi pemerintah dalam proses pembuatan
kebijakan publik dalam rangka memberikan akses politik yang sama kepada semua
lapisan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik.
Birokrasi di daerah,
yang merupakan perpanjangan tangan birokrasi pusat, selama lebih dari tiga
dekade memainkan peran sentral dalam setiap pengambilan kebijakan publik di
daerah. Kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik hampir tidak
pernah dapat dikontrol secara efektif oleh kekuatan-kekuatan politik
masyarakat, seperti DPRD, parpol, LSM, mahasiswa, atau ormas. Adanya era
reformasi dan otonomi daerah saat ini telah memberikan kesempatan yang lebih
luas kepada kelompok-kelompok di masyarakat untuk lebih dapat memainkan peran
signifikan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Publik menjadi lebih
berdaya tehadap birokrasi sehingga diharapkan mampu mengontrol berbagai langkah
terhadap kebijakan birokrasi daerah.
Pada pasca pemilu
tahun 1999 kontelasi politik di Indonesia banyak mengalami perubahan secara
signifikan. Relasi politik yang selama ini di dominasi oleh birokrasi
pemerintah da militer terlihat telah bergeser kearah menguatnya peran politik
lembaga legislatif.
Dominasi
legislatif dan parti politik dalam proses pengambilan kebijakan publik di
tingkat lokal semakin terlihat menonjol. Peran partai politik dalam mengontrol
kinerja birokrasi terlihat semakin menguat. Salah satu fenomena politik yang
menarik adalah masih kuatnya pengaruh politik yang menarik adalah masih kuatnya
pengaruh politik partai golkar, yang merupakan kekuatan politik era orde baru,
dalam memengaruhi pengambilan politik penting. Keberadaan partai golkar
ternyata masih tetap dominan di beberapa daerah, termasuk di Sulawesi Selatan
dan Sumatera Barat. Di Sulawesi Selatan, hampir sebagian besar pejabat
birokrasi masih memiliki hubungan personal dan ikatan emosional yang kuat
dengan anggota DPRD dari partai golkar. Hal tersebut menjadikan control anggota
DPRD terhadap kinerja birokrasi terlihat kurang serius. Banyak kasus penyalahgunaan
jabatan di birokrasi tidak tuntas penyelesaiannya, seperti kasus korupsi dana
KUT (kredit usaha tani) yang melibatkan banyak pejabat birokrasi di Sulawesi
Selatan.
Demikian pula
dominasi politik partai golkar di Sumatera Barat juga masih terlihat kuat.
Efektivitas kontrol legislatif terhadap birokrasi secara umum belum terlihat
menguat secara signifikan. Kondisi politik tersebut merupakan implikasi kuatnya
ikatan politik antara pejabatbirokrasi pusat, yang berasal dari Sumatera Barat
dengan pejabat birokrasi lokal pada masa lalu.
Masih kuatnya
pengaruh golkar di Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari strategi dan
kebijakan birokrasi orde baru. Kebijakan birokrasi pusat dalam pembangunan
daerah dilakukan dalam bentuk pemberian Inpres Dati I, Inpres Desa, Inpres Desa
Tertinggal, dan politik represif berupa mobilisasi dukungan politik birokrasi
kepada golkar. Daerah-daerah tempat partai golkar tidak mendapatkan dukungan
politik dapat dipastikan tidak akan memperoleh dana pembangunan dan penduduknya
akan memperoleh kesulitan untuk mengakses pelayanan publik yang disediakan
pemerintah daerah. Banyaknya pejabat birokrasi yang di tingkat pusat, khususnya
menteri pada era orde baru yang berasal dari Minangkabau, menjadikan hubungan
emosional antara mereka tetap terjaga dengan baik. Pemerintah pusat pada waktu
iu mempergunakan pejabat birokrasi dan elite masyarakat Minangkabau untuk
menyukseskan berbagai program pembangunan di Sumatera Barat.
Keberadaan elite
birokrasi nasional dari Minangkabau sangat membantu pejabat birokrasi lokal
dalam memperoleh berbagai keuntungan bagi daerah. Berbagai kebijakan pusat,
seperti alokasi anggaran dan proyek-proyek pembangunan jalan raya, pasar,
sarana kesehatan, dan ifrastruktur pelayanan public lainnya banyak memberikan
keuntungan bagi kepentingan pejabat birokrasi daerah. Pejabat birokrasi asal
Minangkabau yang berada di Jakarta dimanfaatkan sebagai koneksi bagi birokrasi
lokal untuk mendapatkan jabatan-jabatan strategis di Sumatera Barat melalui
kerjasama dengan pejabat birokrasi lokal. Hubungan ketergantungan antara
birokrasi lokal dengan birokrasi pusat tersebut terlihat sebagai bagian tak
terpisahkan dari kebijakan sentralisasi birokrasi di Indonesia. Modus hubungan
birokrasi lokal yang sangat tergantung pada birokrasi pusat menyebabkan
berbagai kebijakan birokrasi lokal tidak dapat efektif berjalan tanpa dukungan
dari birokrasi pusat.
Besarnya dukungan
dari para elite politik lokal terhadap golkar erat kaitannya dengan berbagai
keuntungan politik dan ekonomi yang selama ini mereka peroleh. Kepentingan
untuk mempertahankan status quo masih merupakan motivasi politik utama dari
kalangan elite lokal di Sulawesi Selatan.
Masih terlihat
secara jelas adanya kesamaan pola hubungan antara elite birokrasi lokal di
Sulawesi Selatan maupun di Sumatera Barat terhadap birokrasi pusat. Birokrasi dan elite lokal tetap menjadikan
birokrasi pusat sebagai kucuran berbagai sumber dana ke daerah. Dana tersebut
antara lain, dipergunakan untuk membangun citra politik golkar di tingkat
lokal. Kebijakan pemerintah pusat pada era orde baru untuk memanjakan kedua
daerah tersebut kemungkinan besar erat kaitannya dengan kontrol politik demi
jaminan loalitas pada pemerintah pusat. Kebijakan tersebut didasarkan atas
sejarah politik kelam adanya gerakan saparatisme di kedua daerah tersebut.
Sumatera Barat pernah mengalami pemberontakan PRRI tahun 1958 dan Sulawesi
Selatan mempunyai rentetan sejarah pemberontakan politik yang panjang, seperti
pemberontakan Kahar Muzakar dalam menentang Negara Indonesia Timur tahun
1950-1965.
Fenomena politik
yang masih tetap menarik di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah peran parpol yang
hanya sebatas dalam proses pemilihan anggota DPRD, bupati, atau walikota,
sedangkan pemilihan gubernur sampai saat ini masih tetap menganut prinsip
kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, yang sultan dan keturunannya
secara otomatis menjadi gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pakualam atau
keturunannya menjadi wakil gubernur.
Selama ini isu
mengenai jabatan gubernur dan wakil gubernur yang diisi secara turun-temurun
merupakan isu politik yang sangat sensitive dan sangat tabuh dimunculkan dalam
diskursus politik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Wacana politik tersebut
menyangkut entitas politik Kerato dan Puro Pakualam yang secara sosial politik
maupun cultural masih sangat berpengaruh dalam masyarakat. Berbagai pihak sudah
mulai berani memunculkan opsi politik agar dalam pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta perlu mulai dipikirkan perluasan kesempatan
kepada masyarakat di luar keturunan Sultan dan Pakualam. Hal ini agar
terwujudnya good governance dan persamaan kesempatan terhadap akses politik
bagi semua lapisan masyarakat.
Menguatnya peran
politik lemabaga legilatif terlihat pula di Sumatera Barat. Penolakan sejumlah
DPRD atas laporan pertanggungjawaban bupati atau walikota menjadi tren politik
baru di sejumlah kabupaten di Sumatera Barat. Namun, ironisnya penolakan
terhadap kinerja eksekutif oleh anggota dewan tersebut bukan dilakukan dalam
konteks menegakkan kesetaraan hubungan politik, melainkan adanya vested
interest dari anggota dewan justru terlihat lebih menonjol. Disinyalir di balik
respons kritis anggota dewan terhadap eksekutif terkandung maksud dan
kepentingan untuk mempraktikkan politik uang atau politik dagang sapu yang
mengarah pada kolusi antara pejabat bupati/walikota dengan anggota dewan untuk
kepentingan pribadi.
Demikian pula
pengurangan pengaruh elite birokrasi lokal di Sulawesi Selatan telah dimulai
semenjak pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pemerintah colonial secara
sistematis mengeluarkan kebijakn restrukturisasi pemerintahan lokal melalui
staatblad no. 573 tahun 1910. Kebijakan tersebut meletakkan jabatan bupati
(regent), yang berasal dari kalangan bangsawan bumiputra di bawah pejabat
pengawas birorasi yang berasal dari pemerintahan kolonial. Upaya tersebut terus
berlanjut sampai adanya kebijakan golkarisasi mulai tahun 1971 oleh pemerintah
orde baru. Kebijakan tersebut, telah menjadikan elite politik lokal tidak dapat
bersikap kritis terhadap pejabat birokrasi yang menyimpang.
Menguatnya peran
control politik DPRD terhadap birokrasi lebih banyak diarahkan menyorot kinerja
birokrasi secara umum. DPRD dalam menjalankan control terhadap birokrasi masih
sebatas pada kebijakan-kebijakan makro, seperti anggaran operasional rutin
birokrasi, masalah jabatan birokrasi, pemilihan wakil gubernur, bupati atau
walikota. Namun, penyelenggaran pelayanan publik masih sangat kurang, karena
anggota DPRD masih jarang mengangkat isu-isu berkaitan dengan penyelenggaraan
pelayanan public, seprti pelayanan satu atap, pelayanan izin usaha, pelayanan
IMB, pelayanan KTP, atau sertifikat tanah. Kontrol DPRD atas birokrasi lebih
banyak terkait dengan masalah alokasi sumber daya bagi kepentingan partai atau
anggota DPRD sendiri, seperti pada masalah pembahasan anggaran operasional
dewan yng banyak mendapatkan perhatian serius.
Rendahnya
perhatian anggota DPRD atas berbagai isu penyelenggaraan pelayanan publik di
daerah merupakan salah satu faktor penting yang membuat kinerja pelayanan
public tetap terlihat rendah. Birokrasi di berbagai daerah seperti di Sumatera
Barat, Sulawesi selatan, bahkan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih belum
terlihat memberikan perhatian serius terhadap kebutuhan masyarakat pengguna
jasa. Responsivitas birokrasi pelayanan masih tetap lemah karena responsivitas
DPRD terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan publik juga masih lemah.
Birokrasi dan DPRD hamper tidak pernah memelopori dengar pendapat dengan
mengangkat tema keruwetan prosedur pengurusan sertifikasi tanah, atau masalah
banyaknya pungutan biaya dalam pengurusan izin usaha dan izin mendirikan
bangunan. Kecenderungan yang terjadi adalah menguatnya control DPRD belum
diimbangi dengan peningkatan perhatian DPRD tentang isu kinerja birokrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan public di daerah.
Konflik lokal
Konflik lokal
merupakan salah satu barometer penting dalam melihat dinamika suatu masyarakat.
Konflik bagi sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai bentuk relasi
yang bersifat negatif, destruktif, atau kontraproduktif, padahal dalam
masyarakat yang berkembang kea rah penguatan civil society, konflik dalam
masyarakat selalu dianggap sebagai bagian yang melekat dalam perkembangan
masyarakat modern. Konflik antarkelompok dalam masyarakat atau konflik antara
masyarakat dengan Negara (birokrasi) hendaknya dipahami sebagai suatu sinergi
yang diperlukan bagi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dinamika konflik
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang melibatkan masyarakat dan pemrintah
telah muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Protes terhadap penguasa di
kalangan masyarkat Daerah Istimewa Yogyakarta menujukkan bahwa upaya
mengkritisi kebijakn penguasa telah dikenal dalam wacana politik tradisional.
Pada konteks politik modern, protes masyarakat biasanya ditujukan kepada
birokrasi pemerintah yang dipicu adanya ketidakpuasan pada kebijakan yang
dianggap merugikan kepentingan masyarakat. Persoalan yang kemudian mucul adalah
tidak tumbuhnya budaya dari birokrasi yang benar-benar memerhatikan keluhan
masyarakat tersebut.
Salah satu faktor
yang menyebabkan rendahnya rsponsivitas birokrasi adalah kuatnya sntralisasi
dalam birokrasi. Birokrasi yang teramat sentralistik selalu mengacu pada
kebijakan dan aturan birokrasi pusat. Birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta,
Sulawesi selatan, dan Sumatera barat senantiasa mempergunakan aturan (juklak)
untuk berlindung dari tuntutan masyarakat pengguna jasa menyangkut transparansi
dan efisiensi prosedur pelayanan tanah maupun peizinan.
Konflik sosial di
Sulawesi selatan, dimulai sejak Belanda berhasil menaklukkan perlawana Sultan
Hasanuddin dari Gowa dan ditandatanganinya perjanjian bongaya tahun 1667.
Setelah mengalami perubahan pejanjian bongaya pada tahun 1824 maka yang menjadi
wilayah yang berada di bawah control langsung pemerintah colonial Belanda
adalah daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Makassar, wilayah Maros,
wilayah Gowa, wilayah kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, dan wilayah kabupaten
Selayar. Sedangkan daerah yang tidak secara langsung diperintah oleh
pemenrintah kolonial Belanda meliputi, Kajeli, Pare-pare, Tanete, Tallo,
Wajo, dan Laiwui, yang kesemuanya berada
di pantai barat Sulawesi Selatan, sedangkan wilayah kerajaan yang merdeka
meliputi, Mandar, Toraja, Masserengpulu, Luwu, Labaso, Barru, Soppeng, Bone,
Gowa, Sanrabone, Turatea, Buton,
Sumbawa, dan Flores.
Penataan politik
pemerintahan yang dilakukan oleh Belanda tersebut memicu terjadinya konflik
vertical antara kerajaan-kerajaan berpengaruh dengan pemerintahan Hindia
Belanda. Konflik horizontal terjadi pula antara sesama kerajaan yang saling
mempunyai pengaruh politik kuat di daerah Sulawesi Selatan, terutama untuk
memperebutkan pengaruh politik di daerah vasal.
Banyak penguasa
lokal yang menjalin aliansi politik dengan Belanda untuk tetap menjaga
kepentingan politiknya jika otoritas kekuasaan dan pengaruh politiknya
terancam.
Konflik-konflik
sosial dalam skala besar dimasyarakat, baik secara vertical maupun horizontal,
sebenarnya relative terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Faktor masih
diakuinya kekuasaan kultral sultan oleh sebagian besar masyarakat turut
memberikan andil besar dalam memelihara stabilitas sosial di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Beberapa peristiwa pada masa-masa awal reformasi yang mencoba mengangkat isu
sara, seperti upaya untuk membuat kerusuhan politik, pelemparan dan perusakan
beberapa tempat ibadah, maupun percobaan pembakaran mesjid Gede milik keraton
gagal memnyulut kerusuhan massa akibat wibawa sultan yang mampu menenangkan
emosi massa umat islam.
Berbagai peistiwa
politik, seperti demonstrasi atau bentuk-bentuk ekspresi politik dan sosial
yang ditunjukkan kepada lembaga politik formal, seperti DPRD atau bupati/
walikota, senantiasa meminta dukungan politik kepada sultan sebagai penguasa
tradisional. Masyarakat lebih puas apabila sultan ikut memberikan saran dalam
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, bahkan terdapat kecenderungan untuk
meminta perlindungan kepada sultan apabila terdapat kebijakan dari pemda yang
merugikan kepentingan mereka.
Kalangan kerabat
atau keluarga sultan banyak diminta oleh kalangan birokrasi pemerintah, parpol,
dan ormas untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan mereka dengan tujuan untuk
menggalang dukungan massa demi menyukseskan program parpol. Sultan dengan
demikian merupakan representasi dari kepentingan birokrasi, kekuasaan, dan
masyarakat Yogykarta.
Konflik sosial di
Sumatera barat muncul semenjak bergulirnya era reformasi yang menandai
bangkitnya kembali keberanian masyarakat adat untuk menuntut hak-haknya atas
tanah ulayat. Kasus tanah ulayat (adat) yang terpaksa banyak dikorbankan untuk
kepentingan pembangunan pada era Orde Baru kembali menjadi isu sosial yang
kental nuansa politiknya. Pemerintah daerah seringkali menggunakan cara-cara
represif untuk mendapatkan tanah adat bagi kepentingan pembangunan. Langkah
represif terhadap masyarakat dilakukan oleh aparat keamanan dalam bentuk
terror, menyuap, sampai mengintimidasi masyarakat adat setempat.
Berbagai kasus
konflik antara masyarakat dengan birokrasi ternyata muncul secara efektif pada
saat reformasi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, eskalasi konflik
masyarakat dengan birokrasi meningkat setelah Sultan mengambil jarak yang cukup
netral dengan partai Golkar dan birokrasi. Demikian pula di Sumatera Barat,
kinerja birokrasi di sorot secara intensif oleh masyarakat pada masa-masa
eforia reformasi. Dari berbagai gambaran tersebut terlihat bahwa konflik antara
birokrasi dengan masyarakat sesungguhnya bersifat akumulatif.
Konflik antara
masyarakat dengan birokrasi yang semakin terbuka telah membawa konsekuensi pada
semakin menguatnya posisi tawar masyarakat dalam mengontrol kinerja birokrasi.
Konflik tersebut juga membawa dampak yang posiif terhadap control kinerja
birokrasi di berbagai daerah. Masyarakat pengguna jasa yang selama ini banyak
dirugikan oleh kinerja birokrasi yang buruk mulai berani menuntut haknya.
Namun, akses dari hal itu, adalah mulai dipergunakan pula cara-cara anarkis dan
memaksakan kehendak oleh masyarakat kepada aparat birokrasi. Birokrasi
merasakan adanya tekanan yang makin menguat dari masyarakat yang menyorot perilaku
dan kinerjanya dalam memberikan pelayanan. Namun ironisnya, masih banyak aparat
birokrasi yang memersepsikan control dari masyarakat sebagai suatu hal yang
bersifat destruktif dan kontra produktif bagi kinerja birokrasi.
Pada masa
reformasi kontrol politik masyarakat pengguna jasa atas kinerja birokrasi
memang meningkat tajam. Berdasarkan pengamatan di beberapa kantor pelayanan
pemerintah, seperti bagian perekonomian, bagian tata kota, dan dinas
pedagangan. Namun, di banyak bagian seperti bagian kantor BPN, sikap mental
aparat belum menunjukkan perubahan yang berarti dalam melayani masyarakat.
Masyarakat jasa pelayanan pertahanan tetap merasa belum puas atas kinerja
aparata BPN. Masyarakat pengguna jasa masih mengalami kesulitan dalam mengakses
informasi pelayanan, khususnya menyangkut biaya dan proses penyelesaian
sertifikat tanah.
Kondisi Sosial Ekonomi
Era otonomi
daerah mensyaratkan adanya iklim yang kondusif antara birokrasi dengan kalangan
dunia usaha. Birokrasi harus menjalin kerjasama dengan kalangan bisnis dan
dunia usaha dalam rangka mendorong investasi serta pertumbuhan ekonomi di
daerah. Birokrasi daerah yang selama ini tergantung pada pemerintah pusat dalam
hal dana pembangunan daerah, pada era otonomi dituntut lebih mampu dalam
membaca pelung pasar bagi kepentingan pembangunan ekonomi di daerah.
Kesadaran
kalangan masyarakat dunia usaha agar birokrasi melakukan langkah
debirokratisasi atas berbagai aturan pemerintah yang menghambat dunia usaha semakin
tinggi.
Christensen
(1995: 17) mengemukakan bahwa elemen paling mendasar dalam melihat dinamika
lingkungan politik lokal adalah karakteristik sosial ekonomi masyarakat.
Jumlah, kepadatan, heterogenitas penduduk, karakter sosio-psikologis masyarakat,
dan variasi ekonomi lokal merupakan beberapa variable penting dalam mambentuk
setting politik lokal.
Perbedaan antara
daerah rural dengan urban, kota besar dengan kota kecil, maupun antara
kabupaten dengan kota merupakan determinan penting yang menjelaskan perbedaan
dinamika politik masyarakat. Masyarakat perkotaan misalnya, relatif lebih
kritis terhadap kinerja birokrasi public dibandingkan dengan masyarakat
pedesaan yang masih terbatas akses informasi dan pengetahuannya.
Masyarakat di
daerah pedesaan kabupaten Sleman mempunyai cara panjang yang jauh masih
konservatif tentang birokrasi dibandingkan dengan masyarakat pengguna jasa di
Kota Yogyakarta. Birokrasi masih didudukkan sebagai penguasa daripada sebagai
pelayan masyarakat. Kecenderungan yang sama terlihat pula pada masyarakat
pengguna jasa di kabupaten Maros dan Gowa, Sulawesi Selatan, maupun di
kabupaten Pariaman, Sumatera Barat.
Semakin besar
jumlah penduduk di suatu daerah biasanya akan membuat kondisi masyarakat
semakin kompleks, semakin banyak permasalahan public, dan semakin memerlukan
pengaturan serta pengorganisasian oleh birokrasi pemerintah. Birokrasi dituntut
untuk dapat memenuhi kebutuhan publik akan penyelenggaraan pelayanan yang
diperlukan, seperti penyediaan fasilitas perumahan, kesehatan, transportasi,
pasar, dan infrakstruktur sosial ekonomi lainnya.
Kota-kota besar
seperti, Daerah Istimewa Yogyakarta, Makassar, atau padang menghadapi
permasalahan sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas, prostitusi, serta
buruknya fasilitas kesehatan masyarakat dan sanitasi yang memengaruhi pola
hidup masyarakat perkotaan. Sehingga pengaturan masyarakat di perkotaan
relative lebih sulit dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Birokrasi di kota
besar lebih di tuntut menyediakan berbagai fasilitas dan jenis pelayanan publik
yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan birokrasi di tingkat kabupaten
atau desa.
Dinamika
kehidupan masyarakat, semangat keterbukaan, dan egaliatarianisme di kalangan
masyarakat daerah Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tumbuh sejak zaman
pergerakan kemerdekaan antara tahun 1946 sampai 1949. Factor pendidikan
masyarakat dipengaruhi tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berada di daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta dan memberikan andil yang sangat besar dalam menciptakan
kohesi sosial dalam masyarakat.
Tingkat
pendidikan dan wawasan sebagian besar masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
yang relative baik turut pula memberikan sumbangan terciptanya harmoni sosial
dalam masyarakat. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
perguruan tinggi dengan komunitas intelektual Daerah Istimewa Yogyakarta dengan
kalangan tokoh masyarakat serta ulam dalam merespons secara rasional munculnya
isu-isu sosial sensiif turut memengaruhi perkembangan opini publik di
masyarakat. Peran tersebut dapat secara efektif meredam berbagai isu kerusuhan
yang banyak berhembus di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat
berlangsungnya gerakan reformasi tahun 1998-1999.
Sebagai kota
pelajar dn pendidikan, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki perguruan tinggi
yang dari segi kuantitas maupun kualitas patut dibanggakan. Setiap tahun ribuan
calon mahasiswa dari berbagai daerah memasuki Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menuntut ilmu. Kondisi sosial masyarakat
tersebut yang telah memberikan andil besar dalam menciptakan percampuran budaya
dan heterogenitas masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sama halnya
dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat khususnya Minangkabau,
memiliki pendidikan yang juga sangat baik. Pendidikan dalam masyarakat Sumatera
barat sudah sejak masa pemerintahan colonial Belanda mendapat perhatian penting
dari masyarakat. Masyarakat Minangkabau yang berdiam di daerah bukit tinggi
dikenal menghasilkan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Tokoh-tokoh
nasional, seperti Agus salim, Bung hatta, Sutan syahrir, Sutan takdir
alisyahbana, dan banyak tokoh pergerakan nasional lainnya lahir dan melakukan
perjuangan lewat pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat.
Aluran gerakan
mahasiswa di Sumatera Barat, Sulawesi selatan maupun Daerah Istimewa Yogyakarta
terlihat memiliki kesamaan. Gerakan mahasiswa masih lebih memperhatikan isu-isu
politik dan ekonomi nasional dibandingkan dengan isu-isu lokal. Isu tentang
kinerja birokrasipun masih sebatas menyangkut sinyalemen tindak korupsi di
lingkungan pejabat birorasi, belum ada komitmen di kalangan mahasiswa maupun
dunia kampus secara umum dalam mengkritisi kinerja birokrasi dalam pemberian
pelayanan publik.
Kondisi
masyarakat dunia usaha yang semakin kritis, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta,
membuat kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik banyak mendapatkan
sorotan dari masyarakat. Keluhan darai kalangan dunia usaha mengenai rumitnya
pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) membuktikan bahwa kontrol kalangan
dunia usahaterhadap kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik semakin
intensif dilakukan. Respons birokrasi atas berbagai tuntutan anggota masyarakat
tersebut dilakukan dengan pembentukan pola pelayanan satu atap. Namun,
keberadan pelayanan satu atap di beberapa daerah, seperti di Sleman dan kota
Yogyakarta, efektivitasnya masih dipertanyakan oleh masyarakat pengguna jasa.
Kontrol Masyarakat dan LSM
Keberadaan
berbagai organisasi swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial,
ekonomi, budaya, agama, dan politik merupakan elemen penting dalam memperkuat
masyarakat sipil. Keberdaan berbagai LSM, baik yang bekerja secara mandiri
maupun yang menggalang kemitraan dengan pemerintah , sangat mendukung
terciptanya iklim kontrol publik yang efektif terhadap kinerja birokrasi
pemerintah daerah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini terdapat sekitar 70
buah LSM yang aktif di berbagai bidang kegiatan kemasyarakatan. Hal ini semakin
menujukkan adanya peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata dalam
pembangunan, sekaligus sebagai wujud pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan
politik.
Beberapa LSM di Daerah
Istimewa Yogyakarta memusatkan kegiatannya pada isu-isu mengenai masalah
pertanahan. Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) merupakan salah satu LSM yang
gigih memperjuangkan hak tanah warga Galur, kabupaten Kulon Progo yang
berhadapan dengan kepentingan militer. Kasus tanah tersebut mencuat ke
permukaan karena melibatkan konflik tanah antara masyarakat sipil dengan
militer.
Keberadaan
berbagai LSM mulai mampu menjalankan peran secara efektif semenjak reformasi
bergulir. Keberadaan LSM mampu secara aktif melakukan advokasi kepada berbagai
kelompok dalam masyarakat yang berupaya memperoleh keadilan. Di Sumatera Barat
misalnya, berbagai LSM yang bekerja sama dengan mahasiswa dan lembaga adat
mampu secara efektif memengaruhi opini publik menyangkut kasus pemngembalian
tanah pabrik semen Padang kepada masyarakat adatsetempat. Demikan pula LSM yang
bergerak dibidang lingkungan di Sulawesi Selatan, secara aktif memengaruhi
petani kapas agar menolak program kapas trangenik dari pemerintah daerah
Sulawesi Selatan. Berbagai LSM di Daerah Istimewa Yogyakarta memainkan peran
penting pula dalam memengaruhi berbagai kebijakan birokrasi pemerintah daerah,
seperti di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan AIDS, prostitusi, dan
keluarga berencana.
Secara umum,
kemitraan yang terjalin antara LSM dengan kalangan pemerintah sangat positif.
Pemerintah daerah memberikan ruang yang lebih luas kepada LSM untuk berkiprah
melaksanakan berbagai program serta dalam melakukan kontrol atas berbagai
rencana kebijakan pemerintah daerah.
Sorotan terhadap
kinerja birokrasi, khususnyya tentang dugaan terjadinya berbagai kasus korupsi
di lingkungan birokrasi, merupakan isu-isu yang mendapatkan perhatian cukup
besar dari kalangan masyarakat. Melalui pemberitaan pers, masyarakat secara
efektif melakukan kontrol sosial terhadap birokrasi.
Pers banyak
melakukan kolaborasi dengan LSM atau elemen masyarakat lainnya dalam upaya
melakukan tekanan terhadap birokrasi pemerintah daerah. Kasus adanya dugaan
korupsi di lingkungan birokrasi pemda provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
menujukkan bahwa tekanan masyarakat dan LSM semakin dirasakan oleh birokrasi.
Kontrol publik terhadap kinerja pemerintah daerah, baik dari jajaran
eksekutif maupun legislatif, dirasakan semakin kritis dan intens dilakukan.
Demikian pula reaksi masyarakat dan kalangan LSM atas kinerja lembaga pelayanan
public lainnya, seperti lembaga kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga
peradilan. Rendahnya kinerja kepolisian kota Yogyakarta belum lama ini mendapat
sorotan dari masyarakat dan LSM hokum. Indikator rendahnya kinerja kepolisian
dalam memberikan pelayanan public tecermin dari semakin tingginya tingkat
kriminalitas di Daerah Istimewa Yogyakarta berupa perampokan nasabah bank,
curanmor. Pembunuhan, serta penuntasan kasus pembunuhan wartawan Udin yang
sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas.
2.
Kinerja pelayanan
publik dalam kewenangan diskresi dan orientasinya terhadap perubahan
Kewenangan Diskresi
Diskresi secara
konseptual merupakan suatu langkah yang di tempuh oleh administrator untuk
menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam suatu
regulasi yang baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk
kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa.
Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kewajiban
atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua
pihak sebagai akibat adanya keterbatasa prediksi para actor atau stakeholders
dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan.
Dalam
implementasinya, tindakan diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk
menginterpretasikan kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau tidak
diatur dalam suatu ketentuan yang baku. Diskresi secara teoritis merupakan
penyimpangan. Tindakan diskresi apakah dianggap baik atau buruk secara
prosedural-administratif sebenarnya bukan merupakan substansi yang perlu
dipersoalkan. Sisi positif dari diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat
yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian sehingga
peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika
masyarakat yang berkembang. Prinsip dalam diskresi menyatakan bahwa pelanggaran
atau tindakan penyimpangan prosedur tidak perlu terlalu dipermasalahkan,
sepanjang tindakan yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi
serta tetap dalam keragka pencapaian tujuan organisasi. Diskresi menjadi isu
krusial dalam pelayanan publik seiring dengan adanya tuntutan kepada aparat
birokrasi untuk dapat memberikan pelayanan publik. Paradigma pelayanan publik
di Indonesia selama 32 tahun orde baru berkuasa memposisikan birokrasi sebagai
kekuatan sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Birokrasi cenderung lebih
menempatkan diri sebagai penyelenggara pelayanan yang mampu memahami aspirasi
dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan oleh publik.
Rendahnya
kemampuan birokrasi dalam melakukan diskresi disamping dapat menjadi indikator
rendahnya tingkat responsivitas birokrasi dalam memahami spirasi dan kebutuhan
publik, juga merupakan indicator untuk menunjukkan bahwa birokrasi masih
bertindak pada peraturan yang diterapkan secara kaku. Aparat birokrasi masih
terkukung oleh berbagai orientasi teknis procedural (juklak) dalam memberikan
pelayanan kepada publik. Sikap dan mentalitas tersebut menjadikan birokrasi
sangat lemah dalam berinisiatif dan berimprovisasi saat memberikan pelayanan.
Implikasi dari lemahnya daya inisiatif pelayanan menjadikan birokrasi sangat
lamban dalam merespons setiap perubahan dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat, termasuk rendahnya daya inovasi pelayanan kepada publik.
Indikator dalam
penelitian yang dipergunakan untuk melihat aparat pelayanan berdasarkan pada
inisiatif, kreativitas, dan tidak terlalu berstandar pada peraturan atau juklak
secara kaku. Indicator tersebut meliputi hal-hal berikut ini. Pertama, tindakan yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan ketika pimpinan tidak berada di tempat kerja. Kedua, tindakan atau langkah yang
dilakukan ketika menemui kesulitan dalam menjalankan tugas. Ketiga, pernah tidaknya menerapkan
prosedur pelayanan yang berbeda dengan juklak.
Diskresi dinilai
baik jika aparat birokrasi selalu berupaya mengatasi sendiri kesulitan melalui
cara-cara yang berorientasi pada upaya pemuasan kepentingan publik. Tindakan
diskresi yang ditempuh meliputi mendiskusikan suatu masalah dengan rekan kerja
dan memutuskan suatu masalah berdasarkan visi organisasi. Dikresi dinilai buruk
apabila aparat pelayanan dalam merespons kesulitan yang dihadapi memilih
mengambil tindakan dengan meminta petunjuk pimpinan atau menunda pelayanan
sampai pimpinan datang.
Aparat pelayanan
yang bertindak atas dasar peraturan (juklak) dinilai mempunyai tingkat diskresi
yang buruk. Aparat pelayanan yang selalu mengacu pada juklak berarti tidak
mempunyai kemampuan untuk menerapkan aturan sesuai dengan konteks pelayanan
yang sedang berlangsung. Aparat hanya memahami aturan secara kaku dan tekstual
sehingga tidak mampu berinisiatif dan menerjemahkan aturan sesuai dengan
situasi dan kondisi atau konteks pelayanan sehingga menyebabkan pelayanan
terhadap masyarakat menjadi lamban dan tidak efisien.
Orientasi terhadap Perubahan
Orientasi
terhadap perubahan menunjuk pada sejauh mana kesediaan aparat birokrasi
menerima perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya menyangkut tuntutan
masyarakat yang senantiasa berkembang, tetapi juga pengetahuan mengenai
berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di luar birokrasi, seperti
perkembangan tekhnologi. Pengetahuan akan hal-hal baru tersebut kesemuanya
harus dapat mewujudkan pemberian pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat
pengguna jasa. Selain itu, orientasi perubahan juga ditandai dengan adanya aksi
atau tindakan yang dilakukan oleh aparat untuk melakukan perubahan. Pada
intinya orientsi tersebut telah memberikan peluang bagi aparat untuk melakukan
perubahan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Orientasi pada perubahan
adalah suatu sikap yang berlawanan dengan orientasi pada kemapanan (status
quo). Semakin tingi sikap terhadap perubahan, maka semakin rendah pula
orientasi terhadap status quo. Orientasi terhadap perubahan yang ada diluar
birokrasinya dan mencari sesuatu yang baru dan berbeda dari system yang sudah
ada. Namun, tampaknya keadaan tersebut masih jauh dari yang diharapkan.
Orientasi perubahan yang ada pada aparat birokrasi pelayanan masih rendah yang
artinya orientasi terhadap status quo (kemapanan) atau kondisi pelayanan public
sekarang masih tinggi, padahal pengguna jasa banyak mengeluhkan atas
citra pelayanan publik Indonesia yang lambat, kaku, dan mahal.
Orientasi pada
perubahan yang harus dimiliki oleh seorang aparat birokrasi berkaitan dengan
luasnya wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Wawasan seorang aparat
birokrasi tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas rutin sebagai seorang
pegawai pemerintah, melainkan lebih pada kemampuannya dalam mengantisipasi perkembangan
dan perubahan yang terjadi diluar lingkungan organisasinya. Dalam konteks
pemberian pelayanan publik, orientasi pada perubahan dapat dilihat melalui
indikator imtensitas aparat birokrasi dalam mengikuti berbagai kegiatan studi
banding ataupun studi lanjut yang diselenggarakan secara kelembagaan. Hal
tersebut sekaligus dapat merefleksikan seberapa jauh komitmen perubahan secara
intitusional dari birokrasi dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada publik.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap aparat birokras pada daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, diperoleh gambaran
bahwa aparat birokrasi untuk yang mengikuti studi banding maupun studi lanjut
belum begitu baik. Masih cukup banyak aparat birokrasi yang belum pernah
mengikuti kegiatan studi banding maupun studi lanjut dalam tiga tahun terakhir
setelah era reformasi bergulir. Secara umum, kondisi tersebut dapat memberikan
gambaran bahwa secara kelembagaan komitmen birokrasi untuk melakukan perubahan
internal masih tergolong lemah. Birokrsi masih belum memiliki komitmen untuk
berubah dengan melihat dan membandingkan berbagai kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh institusi pelayanan lainnya.
Kegiatan studi
banding dan studi lanjut yang diberikan oleh lembaga birokrasi pelayanan kepada
aparatnya, dilihat dari instansi pemberi pelayanan, tampak bahwa aparat
birokrasi kecamatan dan desa ternyata yang paling banyak mengikuti kegiatan
tersebut. Aparat birokrasi yang pernah melakukan kegiatan studi banding atau studi
lanjut yang terbanyak berasal dari aparat birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta,
Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.
Minimnya aparat
yang berasal dari kantor Badan Pertahan Nasional yang pernah mengikuti kegiatan
studi banding atau studi lanjut menujukkan bahwa sinyalemen yang selama ini
sering dilontarkan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat pengguna jasa,
bahwa birokrasi pertanahan tidak banyak
mengalami perubahan setelah reformasi
cukup beralasan. Pelayanan birokrasi
pertanahan yang terkenal rumit dan membutuhkan biaya yang tinggi, ternyata
komitmennya terhadap perubahan masih sangat rendah. Kondisi tersebut sangat
ironis mengingat kasus pertanahan merupakan kasus yang sangat kompleks dan
lebih banyak meimbulkan masalah dibandingkan dengan pelayanan perizinan, tetapi
justru aparat birokrasi pertanahan tidak didorong untuk memperbaiki kualitas
pelayanannya kepada publik melalui pemberian dukungan kepada aparat untuk
meningkatkan wawasan kinerja mereka.
Aparat birokrasi
yang sering melakukan studi banding atau studi lanjut akan mengalami
peningkatan mobilitas vertikal. Tingginya mobilitas aparat birokrasi akan
diikuti oleh semakin besarnya akses untuk dapat menduduki jabatan struktural.
Tingginya jabatan yang diraih semakin memberikan peluang untuk menentukan
keputusan dan semakin besar pula intensif yang akan diterima.
Orientasi pada
perubahan yang terjadi dalam birokrasi pelayanan publik belum menjadi bagian
terpenting dari kemajuan organisasinya. Beberapa faktor yang menyebabkan
pegawai belum memiliki rasa dan semangat untuk berubah adalah factor adalah
faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi usia dan motivasi aparat birokrasi, sedangkan faktor
eksternal mencakup lingkungan kerja dan atasan.
Aparat birokrasi
yang takut menghadapi perubahan akan membawa impilikasi pada kemampuan dan daya
inovatif aparat. Aparat birokrasi pelayanan yang tidak inovatif memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan mekanisme, prosedur, dan tekhnik-tekhnik
usang tanpa memedulikan kesesuaiannya dengan perkembangan tuntutan masyarakat
dan tuntutan organisasi modern, seperti peningkatan produktivitas, efisiensi,
dan efektivitas kerja organisasi.
3.
Kinerja pelayanan
publik pada budaya paternalisme, etika dalam pelayanan, sistem intensif, dan
semangat kerjasama
Budaya Paternalisme
Budaya
paternalisme adalah suatu sistem yang
menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Corak hubungan dalam
paternalisme adalah seperti hubungan antara seorang ayah dengan anaknya. Budaya
paternalisme dalam kinerja pelayanan public menunjuk pada hubungan antara
pemimpin, yang berfungsi dan berkedudukan sebagai ayah., dengan masyarakat,
yang berkedudukan sebagai anak. Dalam paternalisme, pola hubungan dipandang
secara hierarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih
dominan daripada aparat bawahan karena seseorang pimpinan harus dapat
memberikan perlindungan terhadap bawahannya. Dalam konteks system pelayanan
public, paternalisme memiliki dua dimensi. Pertama,
hubungan paternalisme antara aparat birokrasi
dengan masyarakat pengguna jasa. Kedua,
hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan dengan
para aparat staf pelaksana atau bawahan. Paternalisme yang pertama lebih
menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan paternalisme yang
kedua menunjukkan pada hubungan yang bersifat internal yakni di dalam
organisasi birokrasi sendiri.
Corak hubungan
paternalistic pada dasarnya lebih bersifat informal, sangat pribadi, serta
kebiasaan-kebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur birokrasi (Blau
and Scoot, 1987). Corak hubungan paternalisme tersebut tidak dilepaskan dari
adanya pengaruh feodalisme, yaitu suatu sikap mental yang menentukan
bentuk-bentuk relasi dan interaksi antara sesama anggota kelompok. Pola interaksi
pada feodalisme biasanya dibangun berdasarkan hubungan yang asimetris, bukannya
egalitarian, seperti dengan adanya perbedaan dalam hak usia, jabatan, peran,
kedudukan, maupun status seseorang (Hardjowirogo, 1989). Feodalisme dalam
birokrasi lainnya adalah adanya budaya tabu dan ketakutan dari aparat bawahan
untuk mengkriik sikap atau tindakan pimpinan, perekrutan pejabat atas dasar
hubungan pribadi, nepotisme, atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat.
Paaternalisme
tumbuh subur karena dipengaruhi oleh kultur budaya feudal yang sebagian besar
wilayah di Indonesia semula merupakan daerah bekas kerajaan. Wilayah-wilayah
bekas kerajaan ini telah mempunyai system nilai, norma, dan adat istiadat yang
selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus
dihormati karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga
masyarakat. Selain itu, tidak bias dipungkiri bahwa budaya birokrasi di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa yang hierarkis dan tertutup yang
menuntut seseorang untuk pandai menempatkan diri dalam masyarakat. Pada budaya
ini terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan
perlindungan terhadap bawahan (Eisantstadt, 1973). Perlindungan yang diberikan
oleh pimpinan berwujud status dan pangkat, yang kedua atribut tersebut merupakan
hak istimewa bagi seorang bawahan yang menentukan status sosialnya di mata
masyarakat ( Mulder, 1985).
Budaya birokrasi
yang berakar dari budaya keraton, dengan mengadopsi berbagai ritual,
seremonial, dan simbol-simbol kultural dari kerajaan Jawa dan masih
dikembangkan sampai sekarang di birokrasi pemerintah dengan perbedaan antara
masyarakat elite dan masyarakat bawah (priayi dan wongcilik).
Paternalisme di
Sulawesi Selatan pada awalnya terbentuk dari adanya seperangkat nilai-nilai,
keyakinan, dan symbol yang ditemukan pada masa kerajaan Gowa sekitar akhir abad
XII atau awal abad XIV. Pada waktu itu, ditemukan benda-benda aneh yang oleh
penemunya dipolitisasi sebagai benda titipan dewa, yang memberikan kekuasaan kepada penemunya untuk memerintah
di bumi. Benda-benda tersebut dinamakan gaukang, sedangkan penemu benda
tersebut dianggap sebagai manusia pilihan dewa dan ditempatkan di lapisan
tertinggi dalam pelapisan sosial masyarakat. Para gaukang tersebut akhrinya
menjadi raja dan rakyat kebanyakan mengabdi dan bekerja di tanah milik raja serta
memberikan upeti kepada rakyatnya.
Secara subtansial
sebenarnya terdapat unsur kesamaan sejarah dan pola terbentuknya paternalisme
pada masyarakat di Suawesi selatan dengan masyarakat di Jawa, tetapi dalam
konteks politik pemerintahan lokal, terdapat perbedaan pengalaman sejarah
penerapan sistem birokrasi dan pemerintahan lokal oleh pemerintah colonial
Belanda di kedua daerah tersebut. Terbatasnya perhatian politik dan intervensi
birokrasi kolonial Belanda di Sulawesi selatan mengakibatkan tidak terjadinya
akulturasi dan transformasi pola kekuasaan birorasi kolonial dengan pola
kekuasaan birokrasi tradisional-lokal sebagaimana yang terjadi di Jawa.
Pengaruh budaya
Minangkabau terhadap pembentukan paternalisme dalam struktur birokrasi
pemerintahan Sumatera Barat berlangsung melalui tranformasi system nilai nagari
ke dalam system birokrasi lokal. Sejarah terbentuknya birokrasi pemeritahan di
Sumatera Barat dilakukan dengan cara menggabungkan otoritas tradisional
(nagari) ke dalam sistem birokrasi modern. Pengaruh penggabungan tersebut masih
dapat terlihat dengan adanya pengangkatan para pejabat lokal yang harus
mengikuti hokum adat dan tata cara dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
Minangkabau. Kehadiran birokrasi pemerintahan modern tidak banyak mengubah
struktur dan corak asli masyarakat Sumatera Barat. Lembaga nagari tetap diakui
sebagai unit pemerintahan yang otonom, termasuk dalam menjalankan pemeritahan
sehari-hari pada tingkat lokal.
Paternalisme
dalam masyarakat Minangkabau masih tetap terlihat dengan masih tetap
dipeliharanya kontak-kontak personal diantara pejabat dengan masyarakat.
Birokrasi di Sumatera Barat berkeyakinan bahwa mengembangkan kontak-kontal
personal bertujuan untuk membangun kesepahaman politik bersama di luar jalur
fomal. Kontak-kontak personal terjadi pada saat di luar forum resmi seperti
pesta perkawinan, wirid, menjenguk orang sakit, kunjugan silaturahmi, dan buka
puasa bersama.
Etika Pelayanan
Dalam konteks
birokrasi, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat
birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Etika birokrasi
harus menempatkan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan
organisasinya. Etika birokrasi harus diarahkan pada pilhan-pilihan kebijakan
yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Etika dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merasa mempunyai
komitmen untuk menghargai hak-hak dari konsumen untuk mendapatkan pelayanan
secara transparan, efisien, dan adanya jaminan kepastian pelayanan. Perilaku
aparat birokrasi yang memiliki etika dapat tercermin pada sikap sopan dan
keramahan dalam menghadapi masyarakat pengguna jasa. Etika juga mengandung
unsur moral, sedangkan moral tersebut memiliki ciri rasional, objektif, tanpa pamrih,
dan netral. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik sudah
sepantasnya untuk tidak melakukan berbagai bentuk diskriminatif yang merugikan
pengguna jasa yang lain.
Didalam
penyelenggaran pelayanan publik, terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling
berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi layanan yang
berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya,
sering sekali terdapat perbedaan kepentingan yang mencolok. Aparat birokrasi
pada dasarnya adalah seorang abdi, bukannya seorang tuan.
Adanya perbedaan
sikap pelayanan secara normatif dengan sikap pelayanan secara factual yang
dilakukan oleh aparat birokrasi terungkap dari banyaknya keluhan yang dirasakan
oleh masyarakat pengguna jasa pada saat menerima pelayanan. Pengamatan yang
dilakukan dilapangan menujukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang sangat
mencolok dalam memberikan pelayanan. Realitas pelayanan menujukkan bahwa aparat
birokrasi dalam kenyataannya melakukan perbedaan terhadap masyarakat pengguna
jasa. Pembedaan pelayanan tersebut didasarka atas beberapa hal, antara lain,
karena faktor tinggi rendahnya status sosial ekonomi, kedekatan hubungan sosial
dengan aparat, penampilan fisik pengguna jasa, etnik, afiliasi sosial kemasyarakatan,
dan tingkat intelektuaitas masyarakat.
Sistem insensif
Salah satu factor
yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan publik adalah penerapan sistem
insentif. Sistem insentif merupakan elemen penting dalam suatu organisasi untuk
memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang diinginkan. Insentif yang
diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi maupun
nonmateri, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disinsentif
berbentuk teguran, peringatan, penundaan/penurunan pangkat, atau pemecatan.
Sasaran utama penerapan sistem insentif adalah (Gibson,et.al., 1996):
1.
Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi.
2.
Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja.
3.
Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi.
Prestasi dihasilkan dari gabungan usaha individu dan kemampuan,
keterampilan, dan pengalaman pegawai yang bersangkutan kemudian pimpinan
melakukan evaluasi terhadap kinerja pegawainya. Pemberian insentif kepada
karyawan harus dilakukan secara terbuka, merata, dan dikaitkan dengan prestasi
kerja. Cara tersebut dapat merangsang pegawai untuk bekerja lebih keras dalam
meningkatkan prestasinya. Untuk memotivasi karyawn secara efektif, insentif
hendaknya berkaitan dengan pola perilaku tertentu, seperti prestasi yang lebih
baik, diterim langsung sesudah perilaku ditampilkan, dan menghargai karyawan
untuk penampilan perilaku yang diinginkan sehingga tetap konsisten. Ada dua
jenis intensif, yaitu insentif intrinsik dan intensif ekstrinsik. Insentif
instrinsik adalah pemberian tangung jawab dan tantangan lebih besar dari
pimpinan, sedangkn intensif ekstrinsik contohnya adalah gaji, promosi,
tunjangan, atau penghargaan pribadi yang berbentuk pengakuan dari pimpinan,
pujian, atau pengakuan eksistensi dari lingkungan kerja. Semakin baik prestasi
seseorang berarti semakin tinggi pula insentif yang diperolehnya.
Peningkatan prestasi kerja oleh seseorang aparat birokrasi dilakukan
karena berbagai alasan, seperti untuk peningkatan penghasilan, memperoleh
penghargaan dari pimpinan, kepuasan pribadi, promosi jabatan, kewajiban
terhadap tugas, serta pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari sisi aparat birokrasi, baik buruknya insentif yang mereka peroleh
atas apa yang telah dilakukan bagi instansi akan mempengaruhi kinerja mereka.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat
memiliki bentuk insentif yaitu instrinsik
dan ekstrinsik. Penerapan system
intensif yang mengacu pada peningkatan kualitas pekerjaan itu relative masih
sedikit dan insentif semacam ini belum dianggap sebagai insensif bagi karyawan
atas kinerja mereka.
Pada saat pimpinan melakukan evaluasi kerja dalam rangka memperoleh
masukan untuk memberikan insentif kepada karyawan, sekaligus juga akan
diperoleh masukan berupa perilaku atau prestasi buruk karyawan yang justru
tidak di harapkan. Oleh karenanya, disamping ada system insentif bagi karyawan
yang berprestasi baik, juga ada system hukuman atau sanksi bagi karyawan yang
mempunyai perilaku atau prestasi kerja buruk (desinsentif). Dengan adanya
sanksi atas prestasi buruk karyawan yang dinilai cukup memberatkan, maka
karyawan akan terdorong untuk memenuhi kewajiban kerjanya seperti yang
seharusnya dilakukan.
Semangat kerjasama
Salah satu faktor
penentu kinerja pelayanan public adalah semangat kerja sama antara aparat
penyelenggara pelayanan publik. Di dalam literatur, semangat kerja sama ini,
antara lain, dikonsepkan sebagaikepaduan tim atau ada juga yang menyebutnya
sebagai esprit de corps. Stanley E. Seashore (Gibson, et.al., 1996)
mendefinisikan kepaduan tim sebagai penarikan anggota ke dalam kelompok dan
kekuatan masing-masing anggota untuk tetap aktif dalam kelompok serta menolak
maninggalkan kelompok. Pengertian ini memang masih sangat umum dan tidak secara
khusus merujuk pada keterpaduan tim dalam kaitannya dengan penyelenggara
pelayanan public. Definisi keterpaduan yang lebih khusus terkait dengan
penyelenggara pelayanan diberikan oleh Ziethmal, Parasuraman, dan Berry (1990)
yang mendefinisikan keterpaduan tim sebagai suatu kerja sama antara manajer
karyawan dalam pencapaian tujuan bersama yang telah disepakati.
Bentuk
keterpaduan tim, misalnya adalah sebagai berikut :
1. apakah pimpinan dan bawahan memberikan
konstribusi pada upaya-upaya kelompok dalam pemberian pelayanan kepada pengguna
jasa ?
2. apkah petugas yang tidak melayani
pengguna jasa secara langsung telah memberikan dukungan kepada petugas yang
melayani pengguna jasa secara langsung ?
3. apakah secara emosional pegawai memiliki
komitmen dan telah terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan pelayanan yang
dilakukan oleh organisasi tempat kerjanya ?
4. apakah petugas yang melayani pengguna
jasa secara langsung dapat bekerja sama secara baik dibandingkan dengan
karyawan di unit kerja yang lain ?
5. apakah pegawai didorong untuk bekerja
secara bersama-sama dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada pengguna
jasa ?
Isu utama di dalam keterpaduan tim adalah
kerja sama, jadi di keterpaduan tim dikonsepkan sebagai semangat kerja sama.
Konsep semangat kerja sama tersebut diartikan sebagai kemampuan aparat
birokrasi di satu unit kerja untuk bekerjasama dalam rangka pemberian pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat pengguna jasa. Sebagian besar aparat birokrasi
belum mempunyai kesadaran yang sama bahwa proses pemberian pelayanan terhadapa
pengguna jasa adalah tugas dan kewajiban bersama. Salah satu factor penyebab
rendahnya kesadara aparat birokrasi tersebut ialah karena semangat kerja sama
aparat masih sangat minim sekali.
Kerjasama tim diantara aparat birokrasi
terlihat belum menjadi budaya dalam birokrasi pelayanan. Pandangan dan
pemikiran yang muncul dari setiap aparat adalah hanya mengerjakan tugas yang
menjadi kewajiban sendiri, tanpa perlu membantu pekerjaan aparat lain. Hal tersebut
muncul karena pemberian pelayanan masih dianggap belum menjadi tanggung jawab
beberapa aparat saja. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan sebagai suatu
totalitas, yang eksistensi dan citra organisasi pelayanan di mata klien itu
akan sangat ditentukan oleh citra dan kinerja aparat pelayanan secara
keseluruhan.
BAB IV
PENUTUP
a.
Kesimpulan
1. Politik lokal
merupakan salah satu determinan makro penting untuk menjelaskan kinerja dan
karakteristik birokrasi di suatu daerah. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi
adanya pengaruh budaya masyarakat yang melingkupi organisasi birokrasi
pemerintah. Birokrasi dalam mengembangkan system organisasi tidak semata-mata
didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat,
melainkan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal seperti, budaya
masyarakat, kondisi politik, karakter sosial masyarakat, kondisi ekonomi
masyarakat, LSM, pers, dan perguruan tinggi.
Dampak
perkembangan politik lokal terhadap kehidupan bermasyarakat adalah dalam
kaitannya dengan peningkatan partisipasi publik dalam proses pengambilan
keputusan politik. Dinamika politik lokal merupakan gambaran seberapa jauh
proses politik yang berlangsung pada tingkat lokal mencerminkan nilai-nilai
demokrasi dan akuntabilitas. Politik lokal da dinamika di dalamnya terdapat
tidak hanya memberikan gambaran dari
suatu fenomena politik, melainkan melihat pula peran birokrasi
pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan public dalam rangka memberikan
akses politik yang sama kepada semua lapisan masyarakat dalam pengambilan
keputusan publik.
Konflik lokal
merupakan salah satu barometer penting dalam melihat dinamika suatu masyarakat.
Konflik bagi sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai bentuk relasi
yang bersifat negatif, destruktif, atau kontraproduktif, padahal dalam
masyarakat yang berkembang kea rah penguatan civil society, konflik dalam
masyarakat selalu dianggap sebagai bagian yang melekat dalam perkembangan
masyarakat modern.
Elemen paling
mendasar dalam melihat dinamika lingkungan politik lokal adalah karakteristik
sosial ekonomi masyarakat. Jumlah, kepadatan, heterogenitas penduduk, karakter
sosio-psikologis masyarakat, dan variasi ekonomi lokal merupakan beberapa
variable penting dalam mambentuk setting politik lokal.
Keberadaan
berbagai organisasi swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial,
ekonomi, budaya, agama, dan politik merupakan elemen penting dalam memperkuat
masyarakat sipil. Keberdaan berbagai LSM, baik yang bekerja secara mandiri
maupun yang menggalang kemitraan dengan pemerintah , sangat mendukung
terciptanya iklim kontrol publik yang efektif terhadap kinerja birokrasi
pemerintah daerah
2.
Diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang di tempuh oleh
administrator untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum
diatur dalam suatu regulasi yang baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat
berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh administrator
kepada pengguna jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas
bahwa suatu kewajiban atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek
dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasa prediksi para
actor atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan.
Orientasi pada perubahan adalah suatu sikap yang berlawanan dengan
orientasi pada kemapanan (status quo). Semakin tinggi sikap terhadap perubahan,
maka semakin rendah pula orientasi terhadap status quo. Orientasi terhadap
perubahan yang ada diluar birokrasinya dan mencari sesuatu yang baru dan
berbeda dari system yang sudah ada. Namun, tampaknya keadaan tersebut masih
jauh dari yang diharapkan. Orientasi peruahan yang ada pada aparat birokrasi
pelayanan masih rendah yang artinya orientasi terhadap status quo (kemapanan) atau
kondisi pelayanan public sekarang masih tinggi, padahal pengguna jasa banyak
mengeluhkan atas citra pelayanan public Indonesia yang lambat, kaku, dan mahal.
3.
Dalam konteks system pelayanan public, paternalisme memiliki dua
dimensi. Pertama, hubungan paternalisme antara aparat birokrasi dengan masyarakat pengguna jasa.
Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan
dengan para aparat staf pelaksana atau bawahan. Paternalisme yang pertama lebih
menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan paternalisme yang
kedua menunjukkan pada hubungan yang bersifat internal yakni di dalam
organisasi birokrasi sendiri.
Etika dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat dilihat dari sudut
apakah seorang aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
merasa mempunyai komitmen untuk menghargai hak-hak dari konsumen untuk
mendapatkan pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan kepastian
pelayanan. Perilaku aparat birokrasi yang memiliki etika dapat tercermin pada
sikap sopan dan keramahan dalam menghadapi masyarakat pengguna jasa. Etika juga
mengandung unsure moral, sedangkan moral tersebut memiliki cirri rasional,
objektif, tanpa pamrih, dan netral. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan
kepada publik sudah sepantasnya untuk tidak melakukan berbagai bentuk
diskriminatif yang merugikan pengguna jasa yang lain.
Konsep
semangat kerja sama tersebut diartikan sebagai kemampuan aparat birokrasi di
satu unit kerja untuk bekerjasama dalam rangka pemberian pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat pengguna jasa. Sebagian besar aparat birokrasi belum
mempunyai kesadaran yang sama bahwa proses pemberian pelayanan terhadapa
pengguna jasa adalah tugas dan kewajiban bersama. Salah satu factor penyebab
rendahnya kesadara aparat birokrasi tersebut ialah karena semangat kerja sama
aparat masih sangat minim sekali.
b. Saran
Secara
teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan
politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang
potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat
politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan
aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh
perangkat kendali dari luar dan dari dalam.
Birokrasi
merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh
perundang-undangan tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan
eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi
sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.
Daftar pustaka
Dwiyanto, agus. Reformasi birokrasi publik di Indonesia. Gadjah mada
university press. Yogyakarta:2006