Senin, 18 Juli 2011

REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK DI INDONESIA




PENGANTAR
Administrasi publik atau administrasi negara sebenarnya bukanlah kajian baru di Indonesia, bahkan kajian ini sempat berkembang pesat sejalan dengan perkembangan praktik tata pemerintahan. Kondisi inilah yang mengidentitikkan administrasi publik (public administration) dengan administrasi negara yang sebagian besar perspektifnya berfokus pada negara (state centris). Reformasi administrasi publik sebagai salah satu bidang kajian administrasi yang selalu menarik untuk dikritisi. Secara teoritis, lahirnya gejala ini sebagai akibat logis dari adanya kecenderungan pergeseran perkembangan ilmu administrasi publik yang beralih dari normative science ke pendekatan behavioral-ekologis.
Administrasi publik berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; pada setiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkan kegiatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan tertenu. Tetapi sebagai negara tentu harus ada asas, pedoman, dan tujuan, yang menjadi landasan kerja administrasi publik. Pada umumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagasan dasar tersebut ada dalam konstitusi negara yang bersangkutan.
Pada awal perkembangannya, kajian administrasi publik sangat erat kaitannya dengan negara, bahkan administrasi publik diidentikan pula dengan birokrasi, sebagaimana dikatakan Nicholas Henry dalam “Public Administration and Public Affairs” (1975), bahwa “For the letter part of the twentieth century, the public bureaucracy has been the locus of public policy formulation and the major determinant of where this country is going”. Dalam tulisannya itu Henry menggunakan istilah “birokrasi publik” untuk menyebut “administrasi publik”. Gejala perkembangan masyarakat sebagai akibat dari adanya globalisasi, memaksa semua pihak, terutama birokrasi pemerintah melakukan revisi, perbaikan, dan mencari alternatif baru tentang sistem administrasi yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.
Karena itu, dalam membahas mengenai reformasi administrasi publik, maka kita perlu mengidentifikasi dan memahami terlebih dahulu berbagai kecenderungan yang berkembang saat ini yang terkait dengan penyelenggaraan administrasi publik, baru kemudian menguraikan berbagai konsep reformasi administrasi publik yang dapat diterapkan untuk mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan tersebut.

PERKEMBANGAN STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
Administrasi publik sebenarnya sudah ada sejak dulu, yakni sejak masyarakat mulai dapat mengorganisasikan diri dan kelompoknya dalam bentuk sistem penataan pemerintahan. Administrasi publik modern yang dikenal sekarang mekrupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan Eropa yang semuanya dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan, kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengokohkan sistem pemerintahannya. Seiring dengan makin berkembangnya masyarakat, sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan kebutuhan untuk mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh dedikasi, stabil dan memiliki integritas. Mereka inilah yang kemudian akan menjadi tenaga spesialis pada masing-masing bidang dan jabatan yang beraneka dalam tataran pemerintahan nasional. Kebuuhan akan suatu sistem dirasakan, yakni untuk menata sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban.
Salah satu perwujudan kebutuhan akan sistem ini yang berkembang di Prusia dan Austria dikenal dengan sebutan sistem kameralisme (cameralism) yang merupakan awal mulanya administrasi publik. Kameralisme ini dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentralisasi dan bersifat paternalistik, yang ditandai oleh corak perekonomian yang merkantilistik. Sistem ini kemudian dikembangkan lebih lanjut di Perancis pada abad ke-18 dengan usaha-usaha untuk mengembangkan teknologi dan engineering. Sistem pemerintahan semacam ini sangat memerlukan tamatan-tamatan perguruan tinggi dalam banyak bidang, seperti keuangan negara dan administrasinya, kepolisian, ekonomi, pertanian, dan kehutanan. Sekolah-sekolah profesional kemudian didirikan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan tersebut.
Inggris dan Amerika Serikat pada gilirannya mengembangkan sistem administrasi publiknya yang sangat berbeda dengan sistem yang dikembangkan di Eropa tersebut. Inggris mempercayakan tanggung jawab administrasi pemerintahannya pada cara perwakilan dari para bangsawan dan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 sebagian kaum bangsawan berasal dari tuan tanah di pedesaan (rural-estate), baru pada abad ke-19, hampir sebagian besar administrator pemerintahan berasal dari kaum pedagang (mercantile) dan kelas-kelas usahawan di kota-kota. Selanjutnya, pada akhir abad ke-19 mereka telah mulai menerapkan proses seleksi yang berlandaskan pada ujian yang bersifat kompetitif bagi para lulusan universitas. Dalam ujian tersebut, diujikan beberapa materi, diantaranya hukum administrasi, seperti yang terjadi di daratan Eropa, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan langsung dengan administrasi publik yang masih terpusat pada sifat-sifat klasik dan kemanusiaan.
Administrasi publik yang dikembangkan di Amerika Serikat, baik dalam pemerintahan negara bagian maupun pemerintahan nasional dimulai dengan model yang dikembangkan dari negara induknya. Administrasi dilakukan oleh para bangsawan yang berada di Selatan dan dijalankan oleh para bangsawan pedagang dan industriawan di daerah Utara. Administrasi publik tidak dipahami sebagai suatu jenis aktivitas atau jabatan yang berbeda dan dapat dipisahkan. Ada 3 (tiga) struktur dasar yang membedakan dengan sistem administrasi di Inggris. Pertama, sistem federal dan khususnya sistem kekuasaan yang terbatas pada pemekrintahan nasional. Kedua, pemisahan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di tingkat pemerintahan nasional, negara bagian, dan tingkat kota. Ketiga, besarnya rasa takut dan tidak percaya atas memusatnya kekuasaan eksekutif. Sejak revolusi Amerika, terjadi perubahan mendasar terhadap Administrasi publik, yakni: (1) terdapatnya dua sistem kepartaian; (2) invasi yang luas yang dilakukan oleh partai-partai politik ini terhadap urusan-urusan administrasi pemerintahan; da (3) terdapatnya usaha untuk menggalakkan spesialisasi, diversifikasi, dan profesionalisasi di semua jabatan.
Dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan di dalam tulisannya yang berjudul “The Study Administration” yang diterbitkan pada tahun 1873. konsep dari Wilson terkenal adalah pemisahan antara politik dan administrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke-20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.
Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.
Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan (developmet administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.
Pada dua dasawarsa akhir abad ke‑20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan­-pendekatan baru dalam ilmu‑ilmu sosial. Administrasi publik baru tidak lain merupakan suatu bentuk pemikiran kembali (rethinking) di dalam disiplin administrasi publik sebagai reaksi terhadap berbagai ­perubahan yang terjadi di Amerika Serikat, baik perubahan lingkungan strategis internal negara maupun perubahan eksternal di level global yang dikaitkan dengan cara‑cara pemerintahan dan unit‑unit administrasi merespon perubahan‑perubahan tersebut. Secara eksplisit dinyatakan oleh H. George Fredericson, bahwa administrasi publik baru (new public administration) adalah produk tahun‑tahun terakhir 1960‑an dan 1970‑an, suatu era yang oleh Dwight Waldo disebut sebagai "masa pergolakan". Pada periode tefsebut para penstudi administrasi publik di Amerika Serikat mempertanyakan relevansi administrasi publik yang dipelajari dengan perkembangan kehidupan negara dan masyarakat yang melingkupinya. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa administrasi publik saat itu sudah tidak relevan lagi, berada di luar masalah dan isu‑isu aktual dan mendesak yang dihadapi.
Selanjutnya pemikiran‑pemikiran administrasi publik baru tersebut banyak dimuat di dalam Public Administration Review, jurnal administrasi publik yang dipimpin oleh Dwight Waldo dan Frank Marini sebagai redaktur pelaksana. Meski di dalam perkembangan selanjutnya istilah administrasi publik baru itu pun sirna dari perbincangan di jurnal tersebut karena memang sejak awal jurnal itu tidak dimaksudkan sebagai sarana untuk propaganda. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa munculnya gerakan administrasi publik baru merupakan reaksi terhadap keberadaan organisasi profesi dominan tempat kebanyakan orang di dalam bidang ini menjadi anggota, yakni American Society for Public Administration, yang di dalam konferensi tahunannya di Philadelphia (1970) dianggap tidak memberi ruang gerak pemikiran dan pendekatan‑pendekatan baru, sehingga bersamaan dengan konferensi tersebut diadakan pula serangkaian diskusi panel, lokakarya, dan pertemuan tidak resmi dengan nama Unconvention. Acara‑acara Unconvention ditujukan untuk memprotes program yang diajukan oleh panitia konferensi yang kurang memperhatikan isu‑isu kritis yang ada pada masa itu. Sehingga pada hari‑hari terakhir lebih banyak peserta menghadiri Unconvention daripada pertemuan‑pertemuan konferensi yang resmi. Klimaksnya di dalam pemilihan presiden ASPA terpilih orang‑orang yang lebih muda dan yang lebih mengidentifikasikan diri dengan administrasi publik baru dan Unconvention. Organisasi ASPA selanjutnya dibuat lebih demokratis dan responsive terhadap isu‑isu besar masa kini. ASPA selanjutnya menjadi organisasi yang lebih terbuka dan memperhatikan kelompok‑kelompok minoritas di dalam sistem pemilihan pengurusnya seperti kelompok wanita.
Dari hasil pertemuan‑pertemuan tersebut, lahir tema‑tema baru, antara lain tentang post positivism; adaptasi pada lingkungan yang kacau; bentuk‑bentuk organisasi baru; dan organisasi‑organisasi yang memusatkan pada klien. Konsep‑konsep ini tampaknya mencoba membuat koreksi dari konsepsi lama dengan menitikberatkan pandangannya pada apa yang sedang bergejolak dalam masyarakat. Konsepsi baru ini lebih memperkaya interpretasinya terhadap apa yang sedang berlangsung dan terjadi dalam kehidupan ilmu‑ilmu sosial dan bagaimana menerapkan hal‑hal tersebut dalam mengatasi persoalan-persoalan administrasi publik.
Banyak terdapat susunan tata nilai yang amat luas dalam kaitannya dengan konsepsi baru ilmu administrasi publik ini, dan nilai-nilai tersebut hampir semuanya selalu tidak konsisten. Karena itu, George Frederickson sangat kuat menolak suatu notion tunggal yang setuju terhadap administrasi publik baru dengan menghadirkan suatu model yang secara total tidak menyetujui teori dan norma‑norma lama dalam bidang ini. Argumentasi dan dasar pemikiran konsep baru dalam ilmu administrasi publik seharusnya berangkat dari nilai‑nilai yang dibimbing oleh konsep administrasi publik yang dianggap tradisional. Konsepsi baru administrasi publik itu dilahirkan secara logis dari agregasi ilmu pengetahuan baru dalam ilmu‑ilmu sosial dan yang mengarahkan pandangan perhatian ilmu‑ilmu tersebut pada persoalan-persoalan masyarakat secara umum. Dengan demikian, ilmu administrasi publik baru tersebut diperkaya dengan hubungan yang signifikan dari ilmu‑ilmu lain, sehingga pendekatannya lebih operasional dan bermanfaat dalam mencapai tujuan negara.
PARADIGMA DAN LINGKUP ADMINISTRASI PUBLIK BARU
Perkembangan administrasi publik baru tidak dapat dilepaskan dari perkembangan berbagai paradigma dalam ilmu administrasi publik. Paradigma dapat diartikan sebagai perspektif yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, yang terbentuk dari keinginan dan komitmen (konseptual, teoritis, metodologis, instrumental). Sebuah paradigma menuntun scientific community untuk melakukan seleksi terhadap sebuah masalah, evaluasi data, dan menganjurkan teori.
Dalam ilmu administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain sebagaimana diungkapkan melalui metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2 matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkan empat fase dalam perkembangan ilmu administrasi publik. Fase‑fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitik politik dari administrasi (2) fase perbedaan konkrit politik dari admisnistrasi, (3) fase manajemen, dan (4) fase orientasi terhadap kebijaksanaan publik. Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma komprehensif dalam perkembangan pemikiran‑pemikiran ilmu administrasi publik, yakni (1) paradigma tradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3) paradigma kemanusiaan (humanist/systemic). Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigma‑paradigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma. la mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah paradigma‑paradigma kecil (mini paradigm).
Nicholas Henry (1995) menggunakan pendekatan lain. Dengan memperkenalkan pandangan Bailey, bahwa untuk analisis administrasi publik sebagai ilmu harus diterapkan empat teori, yaitu teori deskriptif, non‑natif, asumtif dan instrumental, Henry mengenali tiga soko, guru pengertian (defining pillras) administrasi publik, yaitu: (1) perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam organisasi publik, (2) teknologi manajemen dan lembaga‑lembaga pelaksana kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yang berkaitan dengan perilaku etis individual dan urasan publik. Menurut Henry, terdapat 5 (lima) paradigma ilmu administrasi publik, yakni:
1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi publik (1900‑1926).
Fokusnya terbatas pada masalah‑masalah organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Tokoh‑tokohnya Frank J. Goodnow dan Leonard D. White. Dalan paradigma ini para administrator dianggap tidak perlu campur tangan dalam kegiatan dan proses politik yang berlangsung di suatu negara, dan secara spesifik tugas para administrator tersebut adalah sebagai pelaksana keputusan‑keputusan politik yang dibuat oleh para politisi, dengan ini administrasi publik dipandang sebagai alat pernerintah. Dalam paradigma ini kata publik dalam administrasi publik memiliki pengertian dengan birokrasi pemerintahan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dan negara. Dengan demikian, administrasi publik dapat dipandang sebagai cara menjalankan birokrasi pemerintahan agar dapat bekerja sebagai mana mestinya.
2. Paradigma Prinsip‑prinsip Administrasi (1927‑193 7).
Paradigma ini muncul sebagai akibat dari interaksi yang intensif antara para administrator dengan pihak politisi dan pihak swasta. Akibat dari interaksi ini, administrator dan ilmu administrasi diterima secara luas, baik di kalangan industri maupun pemerintah. Ciri paradigma ini adalah diserapnya prinsip‑prinsip manajemen secara luas untuk diterapkan pada ruang lingkup administrasi. Dalam periode ini juga muncul asumsi yang dikemukakan oleh W. F. Willoughby bahwa prinsip‑prinsip administrasi bisa dibuktikan dan dipelajari. Dalam paradigma ini fokus dari ilmu administrasi dianggap lebih penting daripada lokusnya. Hal ini berakibat pada pengertian kata publik yang menjadi sangat luas yang hanya dibatasi oleh fokus ilmu administrasi, yaitu prinsip‑prinsip manajemen seperti planning, organizing, actuating, dan controlling. Hal ini berkonsekuensi pada masuknya administrasi publik pada ranah kajian yang belum pernah dimasukinya.
Lokusnya kurang dipentingkan. Fokusnya adalah "prinsip‑prinsip" manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan lingkungan budaya. Tokohnya adalah Gulick dan Urwick, F.W. Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan Willooghby.
3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik (1950‑1970).
Paradigma yang seringkali dianggap sebagai suatu kemunduran dari ilmu administrasi publik ini berusaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi publik dengan politik. Dalam paradigma ini, lokus ilmu administrasi publik berusaha untuk di redefinisikan, yaitu pada birokrasi pemerintahan. Hal ini berakibat pada kurang diperhatikannya fokus dari ilmu administrasi publik, yang pada akhirnya berujung pada masalah "sibuk mendefinisikan" fokusnya. Dalam paradigma ini jelas bahwa pengertian dari kata publik yang diinginkan adalah yang berkenaan dengan birokrasi pemerintahan, sehingga ruang lingkup administrasi publik bisa dikatakan kembali menyempit ke seputar proses manajerial birokrasi pemerintahan.
Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip‑prinsip administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkungan, jadi tidak "value free" (bebas nilai). Tokoh pardigma ini adalah Nicholas Henry.
4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi (1956‑1970).
Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi berbagai faktor, oleh karena itu dalam paradigma ini mengembangkan adanya pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem untuk melengkapi. Tokoh paradigma ini adalah Henderson, Thompson, Caldwen. Dalam paradigma ini ilmu Administrasi menyajikan fokus dan bukannya lokus. Dalam paradigma ini nampaknya mulai tumbuh kesadaran untuk mengadopsi disiplin ilmu lainnya untuk menyempurnakan studi ilmu administrasi publik. Dalam paradigma ini muncul kerancuan dalam memahami arti kata publik, sehingga secara garis besar bisa dibuat kesimpulan bahwa kata publik di sini berarti segala sesuatu yang mempengaruhi kepentingan umurn atau masyarakat. Hal ini berkonsekuensi pada meluasnya ruang lingkup dari administrasi publik yang tadinya hanya berhubungan dengan birokrasi pemerintahan menjadi menangani semua yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Paradigma inilah yang masih dianut oleh kebanyakan akademisi Ilmu Administrasi Publik. Walaupun memiliki kekurangan yang sangat signifikan, berupa ketidakmampuan mendefiniskan arti kata publik secara tegas, sehingga menimbulkan perdebatan panjang yang belum juga tuntas tentang arti kata publik di sini.
5. Paradigma administrasi publik sebagai administrasi publik (1970).
Pada paradigma inii, lokus administrasi publik bukan semata‑mata pada ilmu mumi administrasi, melainkan pada teori organisasi, yakni pada bagimana dan mengapa organisasi‑organisasi itu bekerja, bagaimana dan mengapa orang‑orang berperilaku dalam organisasi, serta bagaimana dan mengapa keputusan‑keputusan itu diambil. Selain itu, pertimbangan‑pertimbangan untuk menggunakan teknik‑teknik ilmu manajemen ke dalam lingkungan pemerintahan menjadi perhatian pula dalam fase paradigma ini.
Administrasi publik semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah ilmu kebijakan (policy science), politik ekonomi, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dan analisisnya (public policy making process), dan cara‑cara pengukuran dari hasil‑hasil kebijakan yang telah dibuat. Aspek‑aspek perhatian ini dapat dianggap dalam banyak hal sebagai mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi publik dengan lokusnya. Sebagaimana yang terlihat dalam trend yang diikuti oleh paradigma ini, maka fokus administrasi publik adalah teori organisasi, praktik dalarn analisis kebijakan, dan teknik‑teknik administrasi dan manajemen yang sudah maju. Adapun lokus normatif dari administrasi publik digambarkan oleh paradigma ini ialah pada birokrasi pernerintahan dan pada persoalan‑persoalan masyarakat (public affairs). Walaupun public affairs masih dalarn proses mencari bentuknya, tetapi melihat perkembangannya bidang ini menduduki tempat utama dalam menarik perhatian administrasi publik.
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham‑paharn demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah‑tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pernikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistern pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah‑masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya; Perkernbangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah‑masalah sosial yang mencerminkan nilai‑nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalarn konsep administrasi. la bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan‑gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pernerintah. Itu tidak berarti bahwa pernerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba "menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government. Memasuki dasawarsa 1980‑an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.
Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep "New Public Management" (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta, rekan‑rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta, dalam penyediaan jasa publik ­dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta, melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.
Sejalan dengan lingkup di atas, James L. Perry 13 mengemukakan isu‑isu yang termasuk dalam administrasi publik baru adalah:
1. Perubahan sektor publik, termasuk di dalamnya hubungan antar level pernerintahan.
2. Akuntabilitas dan responsivitas, termasuk di dalamnya kinerja dan budaya organisasi.
3. Kebijakan publik, termasuk di dalamnya perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi program.
4. Penganggaran dan administrasi fiskal.
5. Manajemen sumber daya manusia.
6. Manajemen strategis, termasuk di dalamnya sistem informasi dan kualitas pelayanan.
7. Ketrampilan administrator publik, termasuk di dalamnya kepemimpinan, manajemen konflik, negosiasi, komunikasi, dan hubungan kerja interpersonal.
8. Standar dan etika administrasi publik, termasuk di dalamnya profesionalisme, kewajiban, efektivitas, dan kewirausahaan.
Berdasarkan locus tersebut, maka ruang lingkup kajian administrasi publik baru mencakup dimensi‑dimensi sebagai berikut:
1. Studi kebijakan publik
Institusi‑institusi pemerintah adalah institusi pernbuat sekaligus pelaksana kebijakan. Kebijakan publik seyogianya bersumber dari masalah‑masalah yang tumbuh di masyarakat. Pemerintah yang organisasinya, ditata berdasarkan prinsip‑prinsip birokrasi, maka birokrasi pemerintah akan berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan. Karena itu, diperlukan sistem untuk melaksanakan kebijakan tersebut, yang disebut dengan administrasi.
2. Perilaku organisasi publik
Perilaku manusia yang berada dalam suatu organisasi adalah awal dari perilaku organisasi itu sendiri. Karena persoalan‑persoalan manusia semakin kompleks, persoalan‑persoalan organisasi dan khususnya persoalan perilaku organisasi semakin hari semakin berkembang pula. Perilaku organisasi hakikatnya mendasarkan pada ilmu perilaku itu sendiri yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Kerangka dasar bidang pengetahuan ini didukung oleh individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku itu. Selain itu, karena perilaku individu clitentukan oleh diri individu dan faktor lingkungannya, faktor lain yang mendukung perilaku organisasi adalah faktor lingkungan. Perubahan‑perubahan dalam teori organisasi menghasilkan aneka ragam. pendekatan dan peralihan orientasi dasar untuk studi teori organisasi. Walaupun model birokrasi Weber masih mendominasi literatur teori organisasi, perubahan dari tingkat pendekatan yang deskriptif ke tingkat pendekatan yang analitis dapat digunakan untuk mengkaji perilaku organisasi.
Organisasi dan administrasi tanpa manusia tidak ada artinya. Jika administrator atau manajer menginginkan dukungan dari para karyawannya, administrator tersebut seharusnya mengenal keunikan manusia di dalarn organisasinya. Demikian pula seorang administrator atau manajer agar mendapat dukungan karyawannya harus mengetahui perilaku karyawannya.
3. Pembinaan organisasi
Dimensi ini merupakan kelanjutan dari perilaku organisasi. Tapi, dimensi ini sekarang mencluduki peranan penting dalarn pengembangan ilmu administrasi publik karena esensi dari pembinaan organisasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan perilakii organisasi, yang dikenal dengan konsep organizational­ development (OD). Teknik ini merupakan usaha jangka panjang di dalam usaha melakukan penyempumaan yang terencana dalam suatu organisasi. Penyempumaan yang dilakukan itu meliputi usaha penyempurnaan kenmampuan organisasi untuk memecahkan masalah‑masalahnya dan kemampuannya untuk melakukan perubahan‑perubahan yang berasal dari lingkungan luarnya. Usaha untuk melakukan penyempurnaan ini sangat berlandaskan pada, perilaku­-perilaku anggota organisasi sebagai salah satu pendukung utama organisasi. Kemampuan beradaptasi ini diperlukan agar organisasi dapat mempertahankan eksistensinya.
Dalam kaitannya dengan administrasi publik baru, pembinaan organisasi diarahkan pada pembaharuan atau perubahan yang direncanakan dan adanya kolaborasi, sehingga pembinaan organisasi mempunyai ciri‑ciri berjangka panjang, berencana, menopang, mempunyai strategi dan pendekatan. Tujuannya untuk meningkatkan kepercayaan dan dukungan para anggota organisasi terhadap organisasi, termasuk di dalarnnya pimpinan, ternan kerja, dan bawahannya. Hal yang selalu siap mengatasi masalah‑masalah organisasi, meningkatkan keterbukaan, dan meningkatkan tanggung jawab pribadi dan kelompok dalam pemecahan dan pelaksanaan keputusan.
PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK DI INDONESIA
Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-­an hingga dekade 2000‑an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalarn administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.
Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pernerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e­government dan e‑governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalarn administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.
Sejak tahun 1970‑an di awal era pemerintahan Orde Baru Soeharto, Indonesia mencoba merintis untuk mempraktekkan administrasi publik. Pada masa itu, perkembangan kajian Administrasi Negara (atau Administrasi Publik) terkait erat dengan paradigma pernbangunan yang saat itu mulai diterapkan di Indonesia. Maka pada periode awal tahun 1970‑an dikembangkan konsep administrasi publik yang dikenal dengan Administrasi Pembangunan. Padahal, terdapat perbedaan antara kedua konsep ini. Bintoro, Tjokroarnidjojo dalam bukunya Pengantar Administrasi Pembangunan, mengemukakan bahwa administrasi pembangunan mempunyai ciri‑ciri yang lebih maju daripada administrasi negara. Perbedaan antara administrasi pembangunan dan administrasi negara diuraikan pada tabel berikut ini.
Pembedaan ciri yang dikemukakan di atas menimbulkan kesan seolah‑olah administrasi publik tidak menaruh perhatian pada pembaharuan yang dinamis, dan hanya melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan rutin yang statis dan sempit. Padahal, sebagaimana perkembangan konsepsi yang berlangsung di Amerika Serikat, jelas bahwa administrasi publik memiliki dinamika perkembangan tersendiri yang adaptif terhadap tuntutan perubahan sosial dan isu‑isu baru di masyarakat.
Dalam hal kelembagaan, di Indonesia dibentuk Lembaga Administrasi Negara (LAN) sementara, jauh sebelum era tersebut di tahun 1960‑an sudah dirintis pula berdirinya Fakultas. Sosial Politik yang saat ini bernama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang membina dan mengembangkan disiplin ilmu administrasi negara, yang belakangan di era tahun 2000‑an secara berangsur‑angsur berubah narna menjadi administrasi publik kembali. Dernikian pula dengan berdirinya asosiasi profesi yang menaungi para. ilmuwan dan praktisi administrasi negara/publik, seperti Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Persatuan Sarjana, Administrasi Indonesia (Persadi) di akhir tahun 1980‑an. Tampaknya tidak terlalu memberi kontribusi yang jelas bagi pengembangan disiplin administrasi publik itu sendiri. Kita maklumi bahwa sistem politik orde baru yang sangat sentralistik dan serba negara tidak memberi cukup ruang untuk melakukan diskursus bahwa cenderung pada praktiknya mengkooptasi keberadaan asosiasi­-asosiasi profesi itu sendiri yang semestinya lebih independen.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) sekalipun yang formal merupakan lembaga nonstruktural yang seharusnya bertugas memikirkan dan melaksanakan reform terhadap sistern dan praktik administrasi negara di dalarn mengelola urusan‑urusan publik tampaknya telah ikut terkooptasi oleh kekuasaan pada saat itu, bahkan hingga saat ini belum dapat menemukan kembali posisi yang tepat dan pas apa dan bagaimana yang akan dilakukan Lernbaga Administrasi Negara ini. Sementara asosiasi profesi di luar sektor negara masih belum mampu berdiri tegak lepas dari situasi terkooptasi di masa lampau, sehingga mampu lebih independen dan lebih jernih memikirkan kembali keberadaan disiplin administrasi publik ini di dalam konteks perkembangan Indonesia kini.
Memang dari sisi perkembangan akademik teoterik disiplin ini masih terlalu besar ketergantungannya terhadap pemikiran‑pemikiran yang berkembangan dari luar, sehingga tampaknya perlu kerja keras untuk mencoba menemukan konteksnya di Indonesia atau dengan kata lain perlu upaya membumikan teori‑teori yang ada dalarn konteks Indonesia. Atau sebaliknya membangun dan mengembangkan teori­ teori secara induktif dari dan berdasarkan pengalaman kita sendiri di Indonesia. Untuk itu sernua tentu saja perlu kerja keras dan kerja cerdas disamping perlu biaya dan kemampuan metodologis di dalam melakukan riset­riset yang bertujuan membangun dan mengembangkan teori di dalain disiplin administrasi publik ini. Dengan demikian di dalam konteks Indonesia, pengembangan disiplin administrasi publik masih memerlukan waktu yang panjang yang menjadi tugas para ilmuwan maupun praktisi administrasi publik yang tersebar di berbagai lapangan profesi. Karena itu menjadi sangat strategis untuk mendorong asosiasi profesi baik AIPI maupun Persadi tumbuh dan berkembang dengan pertemuan‑pertemuan tahunannya secara reguler yang membincangkan perkembangan disiplin ini yang dikaitkan dengan perkembangan konteks lokal, nasional, dan global.
Ilmu administrasi publik secara sensitif harus mampu menanggapi isu‑isu pokok dalam masyarakat dan mampu memformulasikan ke dalam suatu rumusan kebijakan yang implementatif. Di masa mendatang, perlu dicari alternatif pendekatan yang dapat mengadaptasikan antara isu‑isu administrasi dan isu‑isu politik (pemerintahan) karena ilmu administrasi publik baru tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan ilmu‑ilmu lain, khususnya ilmu politik sebagai salahsatu induk ilmu administrasi publik. Dikotomi administrasi publik dan politik sudah tidak relevan lagi karena paradigma administrasi negara baru menekankan bahwa administrasi negara bukanlah administrasi dari negara, melainkan administrasi untuk kepentingan masyarakat banyak clcmibagaan kemarnruan administrasi untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif adalah pilar fundamental dari administrasi publik baru. Administrasi publik menunjukkan pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan yang dibuat pihak otoritas, pengorganisasian mesin paksaan untuk konformitas masyarakat, dan menunjukkan adanya tata hubungan antara masyarakat dengan pejabat‑pejabat negara terpilih untuk melanjutkan pelaksanaan tujuan­tujuan bersama, termasuk pula organisasi public affairs, tujuan‑tujuan sosial, dan pengambilan keputusan kolektif, manajemen dari lembaga‑lembaga negara, instansi-instansi pemerintah dan kekayaan pemerintah, berikut proses kegiatan administrasi yang dilakukan oleh pejabat‑pejabat pemerintah, yang meliputi sikap perilaku dan tindakan‑tindakannya
Perubahan ruang lingkup kajian administrasi publik inilah yang perlu segera disikapi oleh para akademisi dan praktisi administrasi publik. Kedua pihak ini saling terkait karena dalam. kajian akademik tidak mungkin dilepaskan dari kebutuhan praktik dalam kehidupan nyata sehari‑hari. Dinamika perkembangan suatu ilmu akan sangat ditentukan dari kemampuannya untuk menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan nyata, karena itu, dialog antara akademisi dan praktisi diperlukan untuk menjembatani perkembangan kajian administrasi publik agar dapat diimplementasikan sebagai upaya pemecahan masalah (problem solver) bagi isu‑isu administrasi publik yang berkembang dewasa ini, khususnya di Indonesia.
REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
Perubahan sosial yang fundamental menyebabkan lahirnya, tuntutan dan tekanan baru. Kebutuhan akan demokratisasi pemerintahan dan administrasi, menyebabkan beban aparatur pemerintah bertambah besar, dan mau tidak mau adaptabilitas menjadi sangat penting dan menjadi kebutuhan. Semua perubahan dan transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai‑yang tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga di kalangan masyarakat.
Sejak tahun 1980‑an, suatu gerakan reformasi global telah dimulai. Gerakan ini didorong oleh 4 (empat) variabel besar, yakni:
1. Politik: keunggulan demokrasi dan kekuatan publik serta keunggulan sistem pasar menimbulkan tekanan politik di berbagai negara di dunia untuk melakukan transfon‑nasi peran pemerintah untuk mengurangi peran dan fungsinya. Langkah ini kemudian diikuti dengan tuntutan untuk mengakui dan meningkatkan peran civil society dan membangun kepercayaan publik kepada lembagalembaga pernerintah.
2. Sosial: beberapa negara di dunia telah mengalami perubahan sosial yang mendasar, yaitu melakukan rekonstruksi ulang terhadap tatanan hukum, ekonomi, sosial, dan politik ditandai pula oleh adanya perubahan mendasar dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Perubahan ini menuntut juga perubahan pada pernerintahan di seluruh negara di dunia.
3. Ekonomi: krisis ekonomi pada tahun 1990‑an di berbagai negara di dunia melakukan reformasi di bidang perpajakan untuk menarik investor masuk, dan juga melakukan langkah‑langkah privatisasi sebagai respon terhadap tekanan ekonomi.
4. Institusional: semua negara di dunia telah menjadi bagian dari sistem ekonomi dan politik global. Kondisi ini ditandai dengan semakin berkembangnya kelembagaan di luar negara, seperti World Bank, IMF, WTO, ADB yang mengatur globalisasi dunia. Di tingkat nasional dan lokal juga semakin banyak LSM.
Keempat tekanan di atas telah mendorong gerakan reformasi administrasi publik dengan 6 (enam) sifat pokok, yakni:
1. Produktivitas: bagaimana pemerintah dapat menghasilkan pelayanan lebih banyak dengan pajak lebih kecil.
2. Pemasaran: bagaimana pernerintah dapat menggunakan insentif gaya pemasaran untuk mencabut kelambanan perkembangan parologi, birokrasi. Beberapa pemerintah, misalnya, melakukan privatisasi
3. Orientasi pada pelayanan: bagaimana pemerintah membangun kepercayaan warga negara dengan memberikan pelayanan yang didesain dari kebutuhan warga negara.
4. Desentralisasi: bagaimana pemerintah membuat program lebih responsif dan efektif dengan mengurangi sebanyak mungkin jarak antara pemerintah dengan warga negara dan mendesentralisasikan sebanyak mungkin tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan manajer lini pelayanan.
5. Kebijakan: bagaimana pemerintah meningkatkan kapasitasnya dalam mendayagunakan kebijakan. Dengan demikian, pemerintah harus memusatkan pada fungsi pembuat kebijakan publik.
6. Akuntabilitas: bagaimana pemerintah berusaha mewujudkan apa yang telah dijanjikan. Akuntabilitas mendorong pemerintah untuk lebih mementingkan output dan outcome daripada proses atau struktur dan merubah pendekatan top-down menjadi bottom-up dan ruled‑based menjadi resulf‑based.
Keenam sifat pokok ini tercermin dari isti‑isu atau 1)ermasalahan penting yang sering dibahas dalam reformasi administrasi publik antara lain :
1. Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administration for public, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari pernerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.
2. Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.
3. Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktik administrasi. Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah kesalahan‑kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.
4. Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalim administrasi publik adalah etika aclmimstrasi. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.
5. Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).
6. Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pernerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungiawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.
Dengan latar belakang dan kondisi demikian, niaka kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi publik di negara sedang berkembang menjadi keharusan dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang, termasuk pemerintahan daerah di Indonesia. Reformasi administrasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pembangunan di negara berkembang, terlepas dari tingkat perkembangan, arah, dan tujuannya. Semata hanya karena kemampuan administratif dipandang semakin penting artinya bagi terlaksananya kebijakan dan rencana pembangunan.
Penyempurnaan kemampuan administratif, meliputi usaha‑usaha untuk mengatasi masalah lingkungan, perubahan struktural, dan institusi tradisional atau perubahan tingkah laku individu dan atau kelompok, ataupun kombinasi dari keduanya. Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi yang beragam, sehingga sebenarnya tidak ada definisi yang dapat diterima secara umum.
Dror mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden mendefinisikan reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation againts resistance. Artinya, reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia, tidak bersifat insidental, otomatis maupun alamiah; ia merupakan suatu proses yang beriringan dengan proses reformasi administrasi. Caiden juga dengan tegas membedakan antara administrative reform dan administrative change. Perubahan administrasi bennakna sebagai respons keorganisasian yang sifatnya otomatis terhadap fluktuasi atau perubahan kondisi. Lebih lanjut dikatakan bahwa munculnya kebutuhan akan reformasi administrasi sebagai akibat dari adanya perubahan administrasi. Tidak berfungsinya perubahan administrasl yang alamiah Ini menyebabkan diperlukannya reformasi administrasi.
Mosher menyebut bahwa isi reformasi administrasi adalah reorganisasi adininistrasi, bahkan dia rnenyamakan antara keduanya. Reorganisasi administrasi itu hanya salah satu isi dari reformasi administrasi, yang sering disebut sebagai aspek institusional (kelembagaan) reformasi administrasi. Aspek lain dari reformasi administrasi adalah perubahan sikap, perilaku, dan nilai orang‑orang yang terlibat dalam proses reformasi administrasi. Aspek inilah yang sering disebut sebagi aspek perilaku. Dengan kata lain, isi reformasi administrasi meliputi aspek institusional atau kelernbagaan dan aspek perilaku.
Reformasi administrasi bertujuan juga mengupayakan agar individu, kelompok dan institusi, dapat mencapai tujuan lebih efektif, ekonornis, dan lebih cepat. Dengan kata lain, reformasi administrasi publik adalah meningkatkan performance. Kinerja yang dimaksud merupakan kinerja individu, kelornpok, dan institusi Ini berarti di samping aspek perilaku, juga aspek kelembagaan yang tercakup didalam reformasi administrasi. Sehat tidaknya administrasi dapat dilihat dari tiga perspektif yang berbeda , yaitu:
1. Ideal optimum, yakni derajat pencapaian kesempurnaan administrasi;
2. Practical optimum, yakni pencapaian derajat tertinggi dari suatu kinerja dalarn kondisi tertentu;
3. Satisficing optimum,yakni pencapaian derajat kinerja yang memuaskan.
Sedangkan peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari keterampilannya, kecakapan, praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keluasan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebajikannya, kreativitasnya, moralitasnya dan lain‑lain. Kinerja kelornpok dilihat dari aspek kerja samanya, keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya, dan lain‑lain. Sedangkan kineda institusi dapat dilihat dari hubungannya dengan institusi lain, fleksibilitasnya, adaptabilitasnya, pemecahan konflik dan lain‑lain.
Sedangkan Dror (1971: 2‑31), melihat tujuan reformasi itu berorientasi jamak dengan mengklasifikasikan tujuan reformasi itu ke dalam enam kelompok, tiga bersifat intra‑administrasi yang ditujukan menyempurnakan administrasi internal, meliputi: (1) Efisiensi administrasi, dalam arti hemat biaya, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi, dan kegiatan organisasi metode yang lain; (2) penghapusan kelemahan administrasi, seperti korupsi, pilih kasih dalam sistem politik, dll; (3) pengenalan dan penerapan sistem merit, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah, dll. Sedangkan tiga lagi berkenaan dengan peran masyarakat di dalam sistem administrasi, meliputi: (1) menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarakat; (2) mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan; dan (3) mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat‑pusat kekuasaan (desentralisasi).
Berdasarkan konsep‑konsep tersebut, reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi atau institusional); dan sikap dan periIaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efekfivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional. Reformasi administrasi menurut Dror (1971: 19), secara tegas mengesampingkan perubahan organisasi clan prosedur administrasi yang minor dan berkonsentrasi pada perubahan‑perubahan yang utama atau dasar saja, sehingga reformasi administrasi itu akan efektif apabila juga didesain dengan tepat, yakni dengan mempertimbangkan dan melibatkan lingkungan dimana reformasi itu dilaksanakan. Reformasi administrasi dipandang sebagai bagian dari reformasi masyarakat, sebab birokrasi dan organisasi pernerintah merupakan bagian dari dan berkaitan erat dengan sistem politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
PENUTUP
Dengan demikian, keberhasilan reformasi administrasi publik sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain: (1) dukungan dan komitmen dari pemimpin politik; (2) adanya agen (inti) pembaru,‑ (3) adanya lingkungan sosial ekonomi dan politis yang kondusif, serta (4) waktu yang tepat. Strategi yang berkenaan dengan sifat dan ruang lingkup pembaruan administratif haruslah dirancang melalui kerja sama yang harmonis antara pemimpin politik dan para pembaru, di mana mereka berclua harus memperhatikan faktor lingkungan yang ada.
Sifat dan ruang lingkup reforinasi administrasi juga tergantung pada tersedianya sumber daya, baik dana. maupun tenaga (SDM). Karena pada urnumnya daerah kekurangan dana maupun tenaga sehingga akan mengalami banyak kesulitan jika menerapkan pendekatan makro atau komprehensif Dengan demikian, maka pendekatan mikro atau inkremental. akan lebih cocok bagi daerah­daerah yang kondisinya beragarn. Reformasi administrasi mencakup perubahan yang menyusup ke seluruh jaringan birokrasi sebab birokrasi daerah dianggap sebagai satu kesatuan, sehingga reformasi administrasi publik perlu diimbangi dengan pembenahan. pada struktur dan kultur birokrasi sebagai orang‑orang yang nantinya akan menjalankan reformasi administrasi publik.

DAFTAR PUSTAKA
Caiden, Gerald E. 1968. Prospects‑for Administrative Relo'rm in Israel, Public Administration.
____1982. Public Administration,2nd Ed. California: Palisades Publishers.
Charlesworth, James C. (ed.). 1968. The Theory and Practice of Public Administration: Scope, Objectives, and Methode. Philadelphia: The American Academy of Political and Sosial Science.
Chilcote, Ronald H. 198 1. Theories of Comparative Politics: The Searchfor a Paradigm, Colorado: Westview Press.
Dror, Yeremiah. 1971. Strategies for Administrative Reform. The Hague, Netherland: Development and Change.
Frederickson. 1994. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES.
Henry, Nicholas. 1975. Public Administration and Public Affairs. Englewood Cliffs, New Jersey: Pretice Hall, Inc.
Kartasasmita, Ginandjar. "Perkembangan Pernikiran mengenai Administrasi Pembangunan", download dari www.ginandiar.com
Kartono, Drajat Tri.2006. "Reformasi Administrasi: Dari Reinventing ke Pesimisme". Dalarn Jurnal Spirit Publik, Volume 2, No. 1, April.
Perry, James L. (ed). 1996. Handbook of Public Administration, Second Edition. California: Jossey‑Bass Inc.
Thoha, Miftah. 2005. Dimensi‑dimensi Prima 11mu Administrasi Negara. Jakarta: PT, RajaGrafindo Perkasa.


2 komentar: